Seminggu berlalu Rosa belum juga ditemukan, Sabita sudah tak tau lagi harus mencari mamanya kemana. Menyebabkan gadis yang biasanya murah senyum itu sering melamun dan terlihat murung setiap saat. Seakan dunianya sudah runtuh dan merasa hidup tak ada gunanya lagi.
Mely tiba-tiba menggenggam tangan Sabita yang terasa dingin, Sabita melamun lagi dari saat pelajaran pertama dimulai sampai selesai. "Bit, lo jangan murung terus dong. Gue sedih kalo lo kayak gini. Lo yang selalu yakinin gue kalo Tuhan nggak akan memberikan cobaan diluar kemampuan, dan tersenyum adalah cara terbaik menerima keadaan," tutur Mely, ia berusaha menjadi sahabat terbaik bagi Sabita. Dia ikut merasakan bagaimana kesedihan yang Sabita rasakan. Mely sangat tahu betul bagaimana rasanya kesepian, dan Sabita pasti mengalami itu.
"Aku nggak papa, Mel." Terlihat sekali Sabita memaksakan senyumnya.
Mely mempererat genggaman tangannya, berusaha menyalurkan kekuatan, meyakinkan bahwa Sabita tidak sendiri, Mely akan membantu Sabita mencari mamanya. "Gue janji, akan terus bantuin lo."
"Makasih ya, Mel." Mely mengangguk. Sabita sudah terlihat lebih fokus sekarang.
"Jangan murung lagi, Sabita yang gue kenal itu kuat, baik hati, dan murah senyum. Bukan pendiem kayak gini."
"Mely bener, Bit. Jangan putus asa, ini baru seminggu dan gue udah lapor polisi buat bantu cari mama, lo," ucap Fathan yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Sabita. "Temen-temen sekelas juga bakal bantuin cari."
Sabita mengamati setiap wajah yang kini menatapnya iba, dia tak pernah mau berada dalam posisi seperti ini. Tapi disisi lain, Sabita juga merasa beruntung karena menyadari begitu banyak orang yang peduli terhadapnya. Dugaannya benar-benar salah pernah menganggap pindah ke Jakarta adalah pilihan yang buruk. Nyatanya di Jakarta atau pun di Bandung, orang baik akan selalu ada selama kita berbuat baik pula.
"Makasih, ya, teman-teman. Aku beruntung punya kalian semua, dan ditempatkan di kelas ini."
"Lo tenang aja Sabita, kita semua keluarga, satu susah yang lain juga pasti merasakan," ujar Viola, murid kebanggaan sekolah karena merupakan juara satu lomba renang tingkat internasional.
"Yaudah, ke kantin, yuk! Gue laper," rengek Mely.
"Makan mulu, lo, Mel. Itu pipi mau segede apa nanti," cibir Zidan.
"Eh, suka-suka gue dong, Zidan Malik, cowok sok kecakepan se-Darmabakti."
"Kalian berdua bisa nggak sih, gak usah berantem. Telinga gue panas dengernya tahu," protes Mada.
Tangan Sabita lagi-lagi ditarik Fathan secara tiba-tiba. Tak ada penolakan, Fathan menggenggam tangan putih itu begitu erat. "Duluan aja, gue kasihan sama kuping, lo, kalo harus dengerin suara cempreng Mely dan kedua temen ogeb gue," katanya setelah berada di luar kelas.
Sabita tersenyum, "Kamu bisa aja, Fath."
"Gitu dong senyum, lo cantik."
"Terima kasih, kamu udah begitu banyak bantu aku."
"Semua itu nggak ada apa-apanya. Kalau pun gue harus lawan orang sekampung supaya bisa dapetin lo, gue rela."
Perasaan Sabita menghangat, Fathan tak pernah berubah sejak awal perkenalan. Selalu berhasil membuatnya terhibur.
Di tengah perjalanan menuju kantin, Sabita berpapasan dengan Aditya, cowok itu terlihat menahan amarah. "Ikut gue, Bit!" ucapnya seraya meraih pergelangan tangan Sabita.
Fathan menahan pergelangan tangan Sabita sebelah lainnya. Sabita menjadi perebutan kedua cogan SMA Darmabakti. "Kak Adit cowok, kan? Bisa dong nggak kasar sama cewek?" gertak Fathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...