Sabita kembali membaca lirik yang telah ia buat. Belum selesai semuanya karena dirasa masih kurang pas.
"Gimana, Bit. Udah selesai liriknya?" tanya Zidan.
"Belum, masih kurang cocok kalo disambungin."
"Sini coba gue liat, Bit." Fathan mengambil alih kertas yang dipegang Sabita. Mulai membaca bait demi bait.
"Ini udah bagus ko, biar gue yang lanjutin dirumah deh. Sekarang pulang aja yuk, udah sore."
"Beneran, Fath. Gak papa kalo kamu yang lanjutin sendirian?"
"Santai aja. Apa sih yang enggak buat kamu." Sabita tersenyum, mulai terbiasa dengan gombalan receh yang Fathan lontarkan padanya.
Mely langsung menoyor kepala Fathan. Membuat cowok itu mengaduh sebal. "Lo kenapa sih Mel? Sensi terus kalo gue godain Sabit."
"Ngegombal terus lo bisanya. Kata-kata manis lo itu nggak ada faedahnya. Sabita nggak akan kenyang denger gombalan lo."
"Sabit aja nggak keberatan, kenapa lo yang sewot, Mel?" tanya Mada.
"Diem lo. Mentang-mentang Fathan temen lo, dibela terus."
"Lo ko jadi galak gini sih, Mel. Bosen ngejomblo? Sama gue mau?" canda Zidan.
"Nggak!"
"Btw, gue udah suruh Kak Aldo ke sini."
"Hah! Kak Aldo ke rumah gue. Kapan?" panik Mely. Dulu dia dan Aldo sempat dekat. Mely menyukai Aldo karena cowok itu baik padanya. Tapi harapannya kandas saat mengetahui bahwa Aldo menyukai teman satu kelasnya. Mely perlahan mundur dan berusaha menjauh dari Aldo sebelum rasa sukanya semakin besar. Dia sadar bahwa cowok setampan Aldo tidak mungkin menyukai cewek yang bisa dibilang biasa saja, tidak populer.
"Sekarang lah. Motor gue rusak jadi minta dia jemput," ucap Fathan. "Dia masih jomblo kok, Mel."
"Terus kenapa kalo dia masih jomblo?" Mely berusaha biasa saja mendengar berita bahwa Aldo masih menjomblo, padahal dalam hatinya ia berteriak girang.
"Ya kali aja lo masih ada rasa sama dia."
"Enggak," jawab Mely ragu. Ingin jujur tapi gengsi. Dia takut diberi harapan palsu lagi.
"Ya udah, nggak usah merah gitu pipinya, Mel," ledek Zidan dan Mely semakin salah tingkah. Membuat Fathan, Zidan, dan Mada tak bisa menghentikan senyum meledeknya. Sementara Sabita masih bingung apa dan siapa yang sedang dibicarakan, kenapa Mely begitu begitu gugup mendengar Aldo akan datang ke rumahnya.
"Kak Aldo itu, siapa?"
"Kakak gue, Bit. Baru lulus SMA tahun kemarin, sekarang dia kuliah. Nah, Mely itu dulu suka sama dia."
"Oh gitu, terus kelanjutannya gimana?" tanya Sabita antusias.
"Kandas, hahaha...," tawa Mada nyaring sendirian, sementara keempat orang yang lain menatapnya bingung.
Krik... krik
Baru setelah itu giliran mereka yang tertawa tanpa henti. Bukan karena lawakannya yang menghibur, tapi karena ekspresi Mada yang cengo dan polos abis. membuat Mada menggaruk tengkuknya meski tak gatal.
"Kak Adit?" cicit Mely yang langsung menghentikan tawanya saat melihat Aditya berdiri di depan pagar rumahnya. "Ngapain dia ke sini, tumben." Suasana mendadak senyap, pengaruh seorang Aditya ternyata begitu kuat.
"Bukain aja, Mel. Siapa tau ada perlu penting."
"Lo aja deh," suruh Mely, dia sedikit... takut.
"Ya udah, aku bukain, ya?" Mely mengangguk dengan cepat.
Sabita membuka pintu pagar, Aditya berdiri di sana dengan membawa bingkisan kue. Seperti biasa, Sabita tersenyum manis. Walaupun ia tahu cowok dihadapannya kali ini tak akan membalas senyumannya walau sesenti.
"Ada apa, Kak? Katanya males keluar rumah."
"Gue nggak boleh masuk?" tanya cowok berperawakan tinggi itu.
"Bo-boleh," Sabita tergagap, bukan karena cara bicara Aditya yang super datar. Tapi karena dia baru melihat sosok Aditya yang tidak memakai seragam sekolah. Penampilannya kali ini terlihat santai dengan hanya mengenakan kaos pendek yang memperlihatkan ototnya yang lumayan kekar dan celana jins yang robek sedikit di bagian lutut. Sabita mulai mengagumi sosok yang ada dihadapannya.
Aditya memiliki hidung yang mancung, dan Sabita baru menyadari bahwa Aditya blasteran. Sabita hampir tak bisa berkedip karena mata Aditya terus mengarah padanya.
"Kenapa, lo. Naksir sama gue?"
"Ih, enggak ko."
"Nggak mau ngaku, dasar cewek." Aditya langsung berjalan masuk dan menghampiri Mely yang gugup, entah kenapa kakinya selalu lemas saat berhadapan dengan Aditya.
"Nih, dari Bunda." Aditya menyerahkan sekotak kue pada Mely. Cewek itu langsung menerimanya.
"Ma-makasih, Kak."
"Hallo, Kak Adit." Mada menyapa duluan, walau bagaimana pun, Aditya adalah kakak kelasnya. Apalagi setelah ditatap oleh mata tajam cowok itu. Semua segan pada Aditya, cowok itu begitu dihormati oleh semua orang di sekolah kecuali Fathan. Fathan selalu acuh dan menganggap bahwa Aditya tak ada apa-apanya dibanding dengan dirinya. Fathan terkenal karena bad boy dan suka buat gara-gara. Baginya Aditya hanya cowok belagu dan sombong. Tanpa tahu diri bahwa dia juga seperti itu.
"Mau masuk dulu, Kak?" tawar Mely.
Aditya menggeleng, dia kembali menatap Sabita. "Lo mau pulang kapan?"
"Hah? Maksudnya?"
"Nggak minat ngulang pertanyaan."
"Emm, aku bawa motor, Kak. Nggak usah repot-repot."
"Siapa yang mau nganterin lo?" Aditya mengangkat sebelah alisnya, lalu kembali berjalan acuh untuk pulang, meninggalkan Sabita yang sudah mengepalkan lengannya karena kesal. Mely berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa terbahak, begitupun dengan Mada dan Zidan. Fathan? Hanya membuang wajah.
"TERUS BUAT APA NANYA?!"
Aditya menahan senyumnya mendengar Sabita memaki, baru kali ini Sabita mengeluarkan umpatan kekesalan. Tanpa berniat menengok lagi kebelakang Aditya hanya menghentikan langkahnya untuk menjawab.
"Nanya itu gratis, terserah gue lah. Kecuali kalo, lo, Ibu negara. Baru lo bisa bilang gitu." Setelah itu Aditya baru benar-benar pulang.
"Untung cakep," gumam Sabita.
"Udah, Bit. Lo nggak bakalan bisa ngalahin kutub es," saran Mely.
"Ada, ya, cowok super menyebalkan kayak Kak Adit."
Mely mengangkat bahu, "Udah takdir."
"Jangan terlalu kesel sama dia, ya, Bit. Gue takut rasa kesel, lo, berubah jadi cinta."
"Kamu kenapa, sih, Fath. Nggak mungkin lah aku suka sama Kak Adit. Dia itu terlalu dingin sifatnya, aku... nggak suka."
"Kalo gue gimana?"
"Kamu...," Sabita mencari kata yang paling pas untuk Fathan, "baik banget."
Fathan tersenyum simpul, bukan itu sebenarnya jawaban yang ia inginkan. Fathan menginginkan Sabita mengatakan suka padanya.
Mada, Zidan dan Mely tak ingin mengganggu kali ini. Biarkan Fathan mengutarakan isi hatinya, walaupun tingkat kepekaan seorang sabita hanya sekitar satu persen saja. Jauh dibawah rata-rata.
"Gue suka beneran sama lo, Sabita."
Update lagi yeay!
Happy reading?☺Vote dan komen yang banyak kalo mau ceritanya dilanjut.
See you😉Adit atau Fathan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...