Selepas kejadian yang di alami Vava, cewek itu banyak melamun. Bagaimana tidak, dia diseret secara paksa memasuki gudang yang lama tak terpakai, Vava bahkan ditampar saat berusaha menolak.
Cowok bernama lengkap Kafka Darmawan itu adalah anak dari kepala sekolah SMA Darmabakti. Kelas sebelas yang memang terkenal dengan kenakalannya semenjak bersekolah di sana. Tapi kali ini kesalahannya tak bisa ditoleransi, dia sudah sangat jauh melangkah.
Vava sangat beruntung karena Aditya tepat waktu menyelamatkannya. Cowok itu bahkan tak peduli dirinya sendiri terluka. Kafka benar-benar menyulut emosi Aditya saat itu, sikapnya yang tengil, sombong, serta arogan dan sangat kasar pada seorang gadis.
Kasus yang menimpa Vava terpaksa berakhir dengan damai, dengan catatan Kafka dikeluarkan dari sekolah dan sepakat untuk tidak membahas masalah itu apalagi memberitahukannya pada yang lain. Singkatnya, seluruh pihak yang terlibat harus merahasiakan kejadian sore itu agar Vava tidak merasa malu, dan nama baik sekolah tetap terjaga.
Meski Vava baik-baik saja, tapi kejadian itu begitu mengguncang dirinya. Dia sama sekali tak menyangka kejadian memalukan itu akan menimpanya. Dia membayangkan bagaimana jika Aditya tak ada di sana, sangat mengerikan.
Aditya mendekat ke arah meja Vava, membuyarkan lamunan gadis itu. Pika yang merupakan teman semeja cewek itu berinisiatif berpindah tempat agar Aditya bisa duduk di sebelah sahabatnya.
"Lo nggak papa?"
Vava menggeleng. "Gue masih takut, Dit. Gue nggak bisa lupain kejadian itu."
"Semuanya udah baik-baik aja, Va. Cowok bajingan itu udah nggak ada di sini."
"Tapi-"
"Gue yang bakal jagain, lo. Sampe lo bener-bener ngerasa aman."
"Lo yakin? Sabita gimana?"
"Gue cuma jagain lo, bukan selingkuhin dia."
"Thank, Dit. Gue nggak tahu gimana jadinya kalo nggak ada lo. Lo bahkan luka kayak gini demi nyelametin gue." Vava menunjuk tangan Aditya yang dililit perban, merasa tak enak juga telah membuat Aditya terluka.
Aditya mengangguk. "Gak masalah. Sekarang lo mau apa?"
"Temenin gue makan di kantin, mau nggak?"
"Iya."
Entah kenapa setelah melihat kejadian itu secara langsung, Aditya merasa punya tanggung jawab untuk melindungi Vava. Cewek itu seolah terlihat sangat rapuh.
Sementara di kelas XI Ips 1, susana terdengar sangat riuh. Sabita, Mely, Zidan, Mada, serta anggota kelas yang lainnya menyambut kedatangan Fathan yang baru saja keluar dari rumah sakit. Sayangnya, Fathan masih harus memakai tongkat saat berjalan. Kakinya masih belum bisa digerakan dengan baik.
"Udah baikan, Fath?" tanya Sabita perhatian. Fathan tersenyum manis. Senyum yang tak pernah bosan Sabita lihat.
"Mendingan," jawabnya singkat.
"Eh kutu aer, mangkannya jangan belagu. Pake balapan segala, kena kan akibatnya," sarkas Mely, mulut cewek itu entah kenapa tak pernah ingin berkata baik pada Fathan. Inginnya menyulut emosi saja.
Fathan memandang sinis, "Gini-gini gue adeknya cowok lo, Mel. Gak gue restuin baru tahu rasa lo."
"Emang nasib buruk Kak Aldo punya adek kayak lo, jahat!"
"Dih, lebay dasar."
"Udah-udah, kalian ini kalo deket berantem mulu. Nggak cape apa itu mulut, hah?" Mada menengahi, mulai tak nyaman dengan suasana yang ada, apalagi saat melihat Zidan berdecak sebal tepat saat Fathan mengatakan dia adalah adik dari Kak Aldo, pacarnya Mely. "Ke kantin aja, yuk. Laper gue," lanjut cowok yang sampai detik ini masih belum punya pacar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...