Pelajaran olahraga di kelas Aditya baru saja berakhir, cowok dengan tubuh atletis itu berjalan menuju samping lapangan, diikuti kedua temannya Rolan dan Vikram.
Ketiganya duduk sejajar di kursi panjang menghadap lapangan basket. "Dit, gue nemuin ini diparkiran," ucap Vikram.
Aditya terlihat menghapus keringatnya dengan handuk kecil sebelum menerima sesuatu yang ditemukan sahabatnya itu.
"Apaan?"
"Gue sempet baca sih, gue lihat ini jatuh dari tas Sabita waktu dia buru-buru pergi dari sekolah kemaren."
Aditya menatap kertas itu dengan kening berkerut, lalu membaca isinya dalam hati dengan teliti. "Jadi, mamanya Sabita bukan hilang, tapi emang sengaja pergi supaya dia nggak jadi beban buat putrinya."
"Pikirannya pendek banget sih, itu si tante. Nggak mikir apa ya, dengan dia menghilang tiba-tiba buat Sabita jadi sedih," ujar Rolan.
"Dari surat ini kita jadi tahu, Sabita emang menyimpan banyak luka selama ini. Dia hebat bisa menutupi semuanya dengan sebuah senyuman. Kalo gue jadi dia ... mungkin gue udah gila," Vikram berargumen, tangannya meraih botol minuman dingin di sampingnya.
"Iya, beberapa kali gue lihat banyak luka lebam di bagian tubuhnya yang kontras banget sama kulitnya yang putih. Mukanya juga kadang pucet banget kek mayat hidup."
"Apa-apaan sih kalian, malah gosipin pacar gue. Diem bisa kali."
"Dit, Vava noh." Rolan sengaja menyenggol Aditya agar cowok itu melihat Vava berjalan ke arahnya.
"Biarin aja."
Rolan mengangkat bahu, kembali mengobrol dengan Vikram. Aditya menatap Vava yang kini tepat di hadapannya.
"Dit, bisa bicara sebentar? Ada yang mau gue omongin sama lo," ucap Vava dengan tenang. Dibalas angggukan oleh Aditya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.
Aditya bangun dan mengikuti kemana cewek dengan bandana pink itu akan membawanya. Sementara Vikram dan Rolan memutuskan untuk segera kembali ke kelas.
Vava duduk di kursi taman, secara otomatis Aditya ikut duduk juga. Hening tercipta beberapa saat, Vava menghembuskan napas pelan dan berkata, "Papa bilang dia udah batalin rencana pernikahannya sama bunda, lo."
Aditya menatap Vava dengan serius, "Bagus dong, harusnya lo seneng, kan?"
"Awalnya iya, gue seneng banget dapet kabar itu. Tapi ... beberapa hari setelah itu, Papa jadi sering ngelamun, Dit. Papa selalu kelihatan nggak bersemangat, gue ngerasa bersalah."
"Kenapa ngerasa bersalah?"
"Harusnya gue bolehin papa bahagia lagi, kan? Selama ini papa berjuang buat gue supaya nggak kesepian meski tanpa kehadiran Mama. Untuk kali ini gue mengakui kalo gue udah egois, lebih mementingkan kemauan gue dibanding kemauan papa, padahal papa juga berhak bahagia, dengan cara menikah lagi. Supaya papa nggak kesepian saat gue sibuk sama temen-temen gue atau dengan tugas sekolah. Lo ngerti, kan, apa maksud gue?"
"Gue belum siap punya ayah baru, Va."
"Gue juga, Dit. Tapi apa lo nggak mau lihat bunda lo tersenyum lebar lagi kayak dulu?"
"Gue yakin bisa buat bunda bahagia tanpa adanya laki-laki lain."
"Lo keras kepala, Dit. Sangat! Udahlah, gue saranin pikirin lagi ucapan gue. Permisi."
Aditya menarik pergelangan tangan Vava, membuat gadis itu duduk kembali. "Va ... kasih gue waktu, gue juga mau bunda bahagia."
Vava tersenyum lebar, sudah dia duga aditya akan luluh pada akhirnya. Karena Vava tahu, cowok yang selama ini dia idamkan begitu menyayangi bundanya. "Thanks, Dit. Gue harap lo pilih yang terbaik buat lo dan bunda lo, juga buat gue dan papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...