Deru suara motor terdengar, Aditya langsung berdiri karena yakin itu adalah suara motor Leon. Cowok itu meminta Leon untuk menjemputnya di rumah Sabita. Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Selama hampir satu jam Sabita dan Aditya hanya mengobrol ringan di teras rumah. Sabita lebih banyak diam dan melamun.
"Aditya!" panggil Leon masih di atas motornya. Cowok itu seperti enggan untuk sekedar turun menyapa Sabita. Wajahnya juga tertutupi helm sampai tak bisa Sabita kenali.
"Iya, tunggu bentar," sahut Aditya seraya membenarkan jaket yang ia pakai. Sabita ikut berdiri, sebenarnya ia penasaran dengan teman Aditya yang bernama Leon itu. Namun karena sudah malam Sabita mengurungkan niatnya untuk berkenalan.
"Gue pulang, ya. Jangan tidur kemaleman."
Sabita meresponnya dengan anggukan, tersenyum manis. Tangan gadis itu melambaikan tangannya saat Aditya sudah naik ke atas motor. "Hati-hati," ucapnya pelan.
Gadis dengan rambut yang masih tergerai itu menghela napasnya, bersiap untuk menikmati sepi lagi. Andai saja dia bisa menemukan mamanya. Dia ingin memeluknya, menyalurkan kerinduan yang teramat dalam ia pendam.
"Mama lagi apa ya sekarang?" Batinnya bertanya.
Sabita menggosok telapak tangannya sendiri. Angin malam membuat tubuhnya kedinginan. Gadis itu masuk ke dalam rumah, mengunci pintu lalu mengurung diri.
Iseng Sabita membuka galeri handphone-nya, banyak sekali foto diri sendiri dengan gaya yang berlebihan. Membuat gadis itu terhibur untuk beberapa saat. Tapi foto terbaru lebih menarik perhatiannya, foto Aditya tengah tertawa sangat ia sukai. Foto hasil bidikannya sendiri di sekolah tadi.
"Kak Adit tambah ngangenin kalo sering ketawa kayak gini."
Tiba-tiba handphone itu berdering, nama Nea terlihat jelas di layar. Sabita menjawabnya dengan senang hati.
"Assalamualaikum!" Suara nyaring di seberang telepon sana membuat telinga Sabita sakit. Suara cempreng khas Nea memang tak pernah berubah sejak dulu.
"Waalaikumsalam," jawab Sabita. "Kamu kalo salam biasa aja dong, sakit telingaku tahu!" protesnya.
Bukannya minta maaf Nea malah tertawa. Tawa yang senenarnya Sabita rindukan.
"Yehh, salah sendiri kamu jauh, aku kangen tahu!" Nea tak kalah nyolot. Tapi tentu saja itu hanya bercandaan. "Tadi jadi jalan sama Kak Adit pacarmu itu? Dia teh gimana? So sweet tidak?" lanjut Nea dengan dialek sunda yang begitu melekat pada dirinya.
"Tadi naik wahana bianglala sama dia. Benar kata kamu, rasanya jadi beda kalo naik sama orang yang spesial."
"Kamu beneran sayang sama dia?"
"Kok tanyanya gitu, Nea?"
"Aku cuma takut kamu dimainin, Bita. Hmm ... kalo di sini teh aku masih bisa jagain kamu dari cowok-cowok berengsek yang cuma main-main aja. Tapi kalo di sana, aku nggak yakin kamu bisa jaga diri."
"Aku yakin Kak Adit baik kok, dia nggak kayak gitu orangnya. Dia tulus Nea."
"Semoga ya, di sini aku selalu doain yang terbaik buat kamu. Meski bagaimanapun jangan terlalu percaya sama yang namanya cowok. Mereka mah sulit ditebak, jangan sampe kamu sakit hati."
Sabita membenarkan, dia mengangguk meski tahu Nea tidak akan melihat itu. Buktinya Aditya masih menutup diri sampai sekarang, pacarnya itu hampir tak pernah menceritakan tentang dirinya. Terkadang Sabita berpikir, kenapa dia bisa jatuh hati pada orang yang awalnya terlihat begitu menyebalkan. Sosok cowok dingin yang seringnya ia hindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...