Tanpa mengabari Aditya lebih dulu, Sabita langsung pergi meninggalkan sekolah. Mengendarai motornya menuju rumah sakit Harapan. Dia ingin segera menemui Fathan dan melihat kondisinya.
Rasa cemas terus menganggu pikirannya, dia ingin Fathan baik-baik saja. Sekelebat ingatan tentang kebersamaannya dengan cowok itu terputar otomatis dalam pikiran Sabita. Fathan telah begitu banyak mengisi kenangan indah. Meski belum lama mereka saling mengenal, Sabita sangat menyayangi Fathan. Sebagai teman, sebagai sahabat.
Sampai di rumah sakit, Sabita langsung mencari ruangan yang Fathan tempati. Ia bertemu Mely yang lebih dulu sampai di depan kamar pasien.
"Gimana?" tanya Sabita cemas.
Mely memberi isyarat agar Sabita segera masuk. Sabita mengangguk, membuka perlahan pintu ruangan. Tatapannya tertuju pada cowok yang terbaring lemah di atas tempat tidur.
Merasa terusik dengan suara terbukanya pintu, Fathan membuka mata. Dilihatnya Sabita yang meneteskan air mata seraya mendekat. Gadis pujaannya cengeng sekali, pikirnya dalam hati.
"Hei, kenapa nangis?"
"Gimana nggak nangis kalo keadaan kamu aja kayak gini?"
"Gue nggak papa, nggak usah lebay gitu. Hapus gih air matanya, gue nggak suka liat cewek secantik lo nangis."
"Nggak papa gimana? Jelas-jelas banyak luka di tubuh kamu. Kaki kamu juga sampe dibungkus gitu."
"Emangnya lontong dibungkus," canda Fathan.
"Fath, lagian kenapa harus ikut balapan segala sih? Mely juga bilang kamu suka berantem lagi."
"Cuma itu cara gue supaya bisa lupain lo, Bit." Fathan berkata pelan, menatap serius wajah Sabita.
Sabita menunduk, tangannya tiba-tiba diraih Fathan. "Gue terlanjur mencintai lo dengan tulus. Gue nggak bisa kalo harus kehilangan, lo."
"Tapi—"
Fathan memotong, "Tapi gue mau lo bahagia. Gue akan selamanya di samping lo. Meski bukan sebagai pacar lo," jelas Fathan, tersenyum hangat seperti biasanya.
"Kenapa kamu harus jatuh cinta sama aku sih, Fath? Kenapa bukan sama yang lain aja?"
"Kita nggak bisa memilih mau jatuh cinta sama siapa Sabita. Karena hati diciptakan bukan untuk memilih, tapi untuk saling mengerti."
"Udah makan?" tanya Sabita mengalihkan pembicaraan.
Fathan mengangguk. "Udah. Tuh, baru aja abis."
"Minum obat?"
Melihat Fathan malah terdiam, Sabita mengerti bahwa Fathan belum meminum obatnya. Gadis itu cekatan meraih obat di meja pasien, membaca petunjuk dan mengeluarkan satu persatu obat dalam wadah.
"Biar cepet sembuh." Fathan menerima obat dari Sabita, berdecak kesa. Lalu berusaha untuk merubah posisi menjadi duduk.
"Lo bawel juga kadang-kadang."
"Biarin, kalo ke orang yang aku sayang."
"Sayang sama gue?"
"Temen."
"Oh."
Sabita memperhatikan Fathan, tersenyum manis karena masih diberi kesempatan untuk bertemu cowok di hadapannya saat ini. Sabita terlalu khawatir sampai-sampai berpikiran negatif tentang kondisi Fathan.
"Jangan lakuin hal bodoh kayak gitu lagi ya, Fath. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Jangan berusaha lupain aku juga dong, jahat banget."
"Maksudnya lupain perasaan gue buat lo. Emang lo mau gue terus-terusan cinta sama lo tapi gak dibales. Lo mau gue sakit hati terus-terusan, hmm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Ficção AdolescenteIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...