"Ini rumah, lo?" tanya Aditya saat sampai di depan rumah bercat putih yang terlihat sedikit kumuh karena sudah lama tak ada yang menempati.
"Hmm, aku tinggal disini. Pemiliknya baik banget, dia ngasih harga murah pas jual ke Mama."
"Oh, oke."
"Yaudah, Kak. Aku masuk duluan, ya? Selamat malam."
"Gue boleh ketemu Mama, lo?"
Sabita kebingungan menjawab, ia tak mungkin membiarkan mamanya menemui Aditya. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk karena mamanya itu sangat sulit diprediksi akhir-akhir ini. Selalu marah-marah tak jelas setiap waktu, dan terkadang bisa melukai.
"Udah malem, Kak. Nggak enak sama tetangga. Mama juga jam segini biasanya udah tidur," bohong Sabita.
"Lo, yakin? Gue bukan orang yang mudah dibohongi."
"Be-beneran kok. Lagipula aku udah cape, kepala aku pusing. Mau cepet-cepet istirahat, Kak."
"Iya, istirahat. Lo butuh itu."
Sabita hanya mengangguk, Aditya belum juga pamit pergi. Perasaan cemas mulai menyelimuti Sabita karena cowok di hadapannya itu terus memandangi wajah pucatnya.
"Kenapa nggak masuk?"
"Kak Adit belum pulang."
"Duluan!"
"Eh?"
"Cepetan masuk."
"Oh, iya."
"Hm."
Sabita memutuskan menurut saja, ia berjalan membuka pintu.
"Selamat malam," ucap Aditya saat Sabita memutar knop pintu. Sabita mengernyitkan kening lalu tersenyum malu menatap Aditya. Cowok itu ekspresinya tidak berubah, masih dengan raut tegas dan serius.
"Ma-malam, Kak."
Aditya mengangguk, membiarkan Sabita masuk ke dalam rumahnya. Namun saat pintu tertutup suara benda pecah terdengar sangat jelas. Aditya penasaran, ia mendekati pintu, mengintip dijendela. Ternyata tadi itu suara vas bunga yang dilemparkan seorang wanita paruh baya. Wanita itu masih terliihat cantik dan anggun, namun ekspresinya terlihat sangat marah.
Sabita menjatuhkan begitu saja bingkisan nasi goreng yang tadi ia beli. Tangannya di tarik oleh wanita itu lalu tubuhnya terhempas membentur tembok. Aditya sudah tak bisa lagi mengintip dari balik jendela, lampu tiba-tiba dimatikan dan suasana tiba-tiba hening. Tak bisa dipungkiri Aditya khawatir, namun ia merasa tak berhak ikut campur masalah keluarga Sabita. Untuk itu ia memutuskan pergi dari sana.
Sabita meringis kesakitan, namun ia mencoba tak bersuara. Rambut panjangnya sengaja dijambak oleh ibu kandungnya sendiri, oleh mamanya. Ia hanya bisa menutup mulut agar tak ada yang mendengar semua ini.
"Kamu tahu ini jam berapa, sayang? Malam. Aku lapar. Kenapa baru datang?" Dapat tercium jelas bahwa mamanya lagi-lagi mabuk. Pikirannya benar-benar kacau, dan setiap kata-kata yang keluar begitu menyakiti Sabita.
"Ma, Sabita kerja. Sabita bawa nasi goreng buat Mama," jawab Sabita lirih.
"Cih, nasi goreng kamu bilang? Mamamu ini mau yang lain, yang berkelas seperti dulu."
"Kita nggak punya cukup uang untuk itu, Ma. Sabita sedang berusaha. Buat Mama, buat kita."
"Diam! Berjuang kamu bilang? Kalo berjuang itu yang total, kamu nggak perlu kerja capek. Kamu cantik sayang, kamu bisa bodohi cowok-cowok kaya disekolah kamu." Mamanya meraih dagu Sabita, dengan lembut lalu perlahan menekannya dengan keras. Membuat mulut Sabita tak bisa mengeluarkan apa yang ingin dia katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...