Rembulan sudah menampakan sinarnya di langit Jakarta. Sabita dan Aditya masih belum juga pulang ke rumah. Pencarian mereka belum mendapatkan hasil. Rasa kecewa tentu saja Sabita rasakan, membuatnya hanya terdiam di balik punggung Aditya yang sedang mengendarai motor.
Aditya mengerti perasaan Sabita, tapi bingung harus menghibur gadis itu dengan cara apa. Aditya bukanlah cowok yang humoris dan pandai berkata romantis. Tapi yang pasti, Aditya akan melakukan apapun agar orang yang disayanginya bisa tersenyum kembali.
Bukannya mengajak Sabita pulang, cowok itu justru mengajak Sabita ke suatu tempat lapang. Tempat dimana mereka bisa melihat indahnya langit malam tanpa terhalang bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.
"Kenapa Kak Adit ajak aku ke sini?" tanya Sabita dengan raut bingung.
Aditya tak berniat menjawab. Dia malah sibuk melepas jaketnya. Setelah itu tersenyum hangat lalu meraih tangan Sabita dan menggenggamnya erat.
"Kak Adit nggak akan berbuat macem-macem sama aku, kan?" tuduh Sabita. Pasalnya tempat itu cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang melintas.
"Emang lo mau, gue macem-macemin?"
"Eh, gak mau!" tolak Sabita tegas. Mukanya memerah.
"Pertanyaan lo aneh. Gue masih polos, dan gue rasa lo juga. Nggak usah mikir gitu, gue cuma mau tunjukin sesuatu sama lo."
"Apa?"
"Ikut gue," ujar Aditya, dia membawa Sabita ke lapangan sepak bola di sebuah kampung. Setelah menemukan tempat yang dirasa cocok. Cowok itu langsung mengajak Sabita duduk di atas tanah.
"Lihat di atas lo," pinta Aditya. "Langit malam lagi cantik."
Sabita mendongak, tercipta lengkungan manis di bibirnya, ia tersenyum. Bulan sabit di atas langit selalu berhasil membuat dirinya kembali memiliki harapan. "Ayah lagi senyum di atas sana," kata Sabita pelan.
"Ayah?" beo Aditya, ia ingin tahu lebih dalam lagi mengenai Sabita. Aditya tahu, selain masalah mamanya yang hilang, ada hal lain yang coba Sabita tutup-tutupi.
Sabita mengangguk, lalu menatap raut penasaran Aditya. "Ayah udah pergi ke atas sana, Kak." Tunjuknya pada bulan sabit dilangit. "Dulu... aku, ayah, sama mama selalu bahagia. Ayah selalu bisa hibur aku kalo aku lagi sedih, mama juga gitu. Tapi, mama sesekali marah karena aku gak disiplin. Aku nggak keberatan, karena aku tahu itu demi kebaikan aku juga. Setelah ayah nggak ada, mama bilang mau menikah lagi. Awalnya gak setuju, tapi demi kebahagiaan mama, akhirnya aku bolehin mama nikah lagi. Sialnya, calon mama saat itu adalah lelaki berengsek. Dia cuma mau kekayaan mama, mama ditipu abis-abisan sama orang itu. Bahkan rumahku yang di Bandung juga ternyata dijual untuk orang jahat itu. Mama depresi, dia sering mukul aku. Tapi aku tetep sayang sama mama. Aku mau mama ketemu secepatnya."
Aditya mengangguk, setelah itu tangannya menyingkirkan rambut-rambut kecil yang menutupi wajah cantik Sabita. Jantung sabita rasanya berhenti bergerak, dia tidak tahu apa yang ada di pikiran Aditya saat ini. Mata sabita tak luput dari tatapan cowok yang masih mengenakan seragam sekolah itu, aura teduh dan damai yang Sabita tunjukan seakan menghipnotisnya beberapa saat. "Lo cantik, dan gue suka. Lo gadis yang kuat, lo baik, dan lo satu-satunya cewek yang bisa buat gue gak tidur seharin cuma karena khawatir." Sabita mengalihkan pandangannya ke arah lain. Membuat Aditya sadar, bahwa hal yang tadi dia lakukan mungkin saja dianggap melebihi batas wajar oleh Sabita.
"Sorry, gue gak bermaksud untuk ... ah gue rasa lo bisa ngerti."
"Apa aku penyebab Kak Adit sama Kak Vava putus?" tanya Sabita mengalihkan pembicaraan.
Aditya menggeleng dengan pasti, "Bukan karena, lo. Tapi karena memang gue gak pernah cinta sama Vava. Hmm ada hal yang belum bisa gue jelasin sama lo."
Sabita melirik jaket yang ada di tangan Aditya, aneh rasanya kenapa cowok itu tidak memakainya saja. Malam seperti ini rasanya dingin, kenapa malah membuat benda itu menganggur.
"Kak," panggil Sabita.
"Kenapa?"
"Sekarang dingin, kenapa jaketnya gak dipake aja?"
Aditya terkekeh sendiri "Oh, Lo kedinginan, ya? Sorry, gue bukan cowok romantis, gue bukan cowok super peka. Gue pakein, ya?"
"Eh, bukan gitu maksud aku. Kak Adit aja yang pake."
"Lo aja, nih." Sabita menerima jaket itu, sisi lain dari sosok Aditya kembali ia temui. Ternyata sikap dingin yang selama ini Aditya tunjukan bisa berubah 180 derajat tanpa diminta.
"Makasih, Kak. Ternyata dugaan aku gak salah. Kak Adit emang baik. Cuma sok cool aja karena ganteng, iya kan?" ucap Sabita sambil memakai sendiri jaket milik Aditya.
"Mau muji atau ngeledek sih, sebenernya?"
"Ups, maaf." Sabita tertawa melihat Aditya terlihat kesal.
"Ketawa, ya. Oke, gue juga bisa jahil." Aditya menggelitik pinggang Sabita, membuat cewek itu tak bisa berhenti tertawa. Sabita lari dan menghindar, Aditya mengejar. Terus begitu sampai beberapa saat berlalu, mereka berdua akhirnya terdiam karena lelah dan terduduk kembali di tempat semula.
"Pulang sekarang?"
"Nggak mau."
"Kenapa?"
"Masih mau bareng Kak Adit."
"Kenapa gitu?"
"Gak tahu," ucap Sabita seraya mengangkat bahu.
"Gue buat lo, nyaman, ya?"
Sabita mengangguk pelan, dia tak bisa berbohong. "Iya."
"Kalo gitu, udah bisa jawab pilih siapa antara gue sama Fathan?"
"Aku nggak pilih keduanya."
"Alasannya?"
"Kalian nggak pantas buat aku?"
Aditya mengernyitkan kening, "Karena? Apa hal yang kurang dari diri kita berdua?"
"Bukan itu, tapi aku ngerasa. Kalian bisa dapetin yang lebih baik daripada aku. Aku itu pantesnya sama orang yang biasa-biasa aja, bukan sama cowok perfect seperti kalian berdua.
"Gue baru tahu, pikiran lo dangkal. Kata sempurna itu relatif bagi setiap orang. Kalo menurut lo, Sabita itu nggak sempurna. Berbeda dengan gue yang menganggap Sabita itu segalanya, Sabita itu sempurna. Ayo pulang, nggak usah dipikirin lagi, gue bakal tahu sendiri jawabannya tanpa lo kasih tahu."
"Dih, cenayang."
"Bukan!"
"Terus apa?"
"Pengamat tampan."
"Oke." Senyum Sabita merekah, dibalik rasa lelah pencarian mamanya hari ini, dan tekanan dari Vava. Malam menjadi penutupan yang sangat spesial. Aditya bisa membuatnya bahagia dipenghujung hari. Lewat kata-kata sederhana, lewat perlakuan yang katanya tidak romantis. Tapi tetap saja Sabita merasa itu semua istimewa.
Begitupun dengan Aditya, cowok itu semakin menyukai Sabita. Tingkah konyolnya, pertanyaan-pertanyaan polosnya yang berhasil membuat tergelitik sendiri. Tatapan sendu juga rasa cinta yang besar pada orang-orang yang dekat dengannya begitu Aditya rasakan. Sabita tak pernah mau menyakiti hati siapapun, prinsip cewek itu bisa Aditya simpulkan sendiri. Sabita tak pernah mau menyakiti siapapun dan lebih rela jika dirinya sendiri yang terlukai.
Update!
Aditya-Sabita come back.
Huaaa part ini full mereka berdua :)Vote dan komen juga share kalo suka.
See you next chapter ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...