Hari demi hari rasanya semakin jauh saja antara Sabita dan Aditya, keduanya sama-sama enggan menyapa lebih dulu. Aditya yang selalu memasang wajah dingin membuat Sabita ragu untuk memulai obrolan. Berkali-kali berpapasan, berkali-kali juga beradu pandangan. Tapi, tak satu kata pun terucap.
Hana yang sejak awal memperhatikan interaksi keduanya ikut dibuat bingung. Pasalnya Aditya sering sekali menanyakan kabar Sabita begitupun kebalikannya.
"Kak Sabit, lagi marahan, ya, sama Kak Adit?"
"Ehh, enggak kok. Kenapa mikir gitu?"
"Abisnya kalian diem-dieman," ucap Hana, "Tapi, kalo lagi marahan kenapa ya, Kak Adit nanya terus tentang Kak Sabit?" Hana bermonolog, Sabita cukup terkejut mengetahui bahwa Adit masih memperhatikannya.
"Dia tanya apa aja?"
"Cie kepo, haha...."
"Ishh, kamu ini jahil banget."
"Kak Adit, ada yang kepo tentang Kak Adit nih!" teriak Hana, tentu saja Aditya mendengarnya. Kebetuan cowok itu sedang mengecek pemasukan keuangan kafe.
"Udah biasa, cuma nggak mau ngaku aja dia. Bilangin ke orangnya, nggak perlu tanya-tanya ke orang lain kalo bisa tanya langsung."
"Tuh, kata Kak Adit tanya langsung aja."
"Bilangin ke bos kamu itu, gimana caranya tanya kalo mukanya aja gak ada manis-manisnya?"
"Kak Adit denger, kan?"
"Bilangin ke dia, Han. Banyak alasan, biasanya juga gue gini dia tetep bawel. Bilangin juga, jangan terlalu deket sama cowok yang namanya Fathan. Dia cowok nggak bener." Aditya terus saja berbicara dengan pandangan tetap terfokus pada layar komputer samping kasir.
Tanpa banyak pikir, Sabita langsung mendekat ke arah Aditya. Dia sedikit tertarik dengan kalimat terakhir yang cowok itu ucapkan. Seperti ada yang aneh antara Fathan dan Aditya, mereka tak pernah terlihat saling bicara tapi kenapa seakan tahu suatu hal.
"Kak," panggil Sabita.
"Hmm." Hanya bergumam, seperti biasa. Aditya tak melirik ke arah Sabita sama sekali.
"Kak Adit."
"Apa?"
"Bisa lihat aku sebentar, aku mau ngomong sesuatu."
"Ngomong aja, itu hak asasi manusia."
"Kak Adit pacaran sama Kak Vava? Ups." Sabita langsung menutup mulutnya, bukan pertanyaan itu yang ingin dia ajukan, tapi kenapa itu yang keluar dari mulutnya. Mendengar pertanyaan itu Aditya langsung menatap Sabita tajam.
"Ma‐maaf Kak, bukan itu. Aku mau tanya yang lain tapi keluarnya itu. Abisnya aku penasaran juga. Kak Adit tiba-tiba deket gitu aja sama Kak Vava, terus—"
"Bisa diem? Gue sibuk."
"Oh, gitu. Yaudah maaf ya, Kak." Sabita langsung menunduk dan berbalik badan. Menurutnya Aditya mungkin tidak suka ditanyai masalah pribadinya. Mendapat tatapan tajam dan kalimat ketus seperti tadi nyali Sabita langsung ciut. Dalam hati dia menggerutu bahwa Aditya memanglah makhluk bumi yang menyebalkan.
"Katanya tadi suruh tanya langsung, manusia apa bukan sih dia atau jangan-jangan iblis yang nyamar jadi manusia. Mungkin juga dia itu alien? Kayaknya iya." Terus saja Sabita bergumam tak jelas, ia terlalu kesal dengan perlakuan Aditya barusan.
"Kak Sabita ngomong sama siapa?" tanya Hana yang tiba-tiba sudah ada di hadapan Sabita.
"Tembok, Han."
"Ishh, Kak Sabita bisa ngelucu juga ternyata."
"Aku itu asli Bandung loh, orang Bandung itu humoris."
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...