Leona, siswi paling pendiam di kelas Sabita berjalan mendekat ke arah Mely. Cewek yang disebut-sebut sebagai nerd sekolah itu membenarkan letak kacamatanya sebelum akhirnya berbicara, "Mely, aku mau minta maaf sama kamu."
"Minta maaf buat apa?" tanya Mely dengan sinis.
"Maaf karena waktu itu aku nggak jujur, dan buat kamu jadi dituduh mengada-ngada. Sebenernya... surat itu beneran dari Kak Aldo. Dia ngasih itu buat kamu, tapi direbut sama Kak Zea."
"Oh, gue udah tahu. Nggak penting juga buat gue."
"Masalahnya nggak berhenti disitu, aku mau ngasih tahu kamu. Kalo sebenernya Kak Aldo itu nggak pernah pacaran sama Kak Zea. Dia sukanya sama kamu."
"Ngomong apa sih lo, Na. Kalo Kak Aldo suka sama gue kenapa nggak bilang langsung waktu itu? Kenapa Kak Aldo nggak bilang sama semua orang kalo dia nggak pacaran sama Zea? Jangan buat gue bingung bisa, kan?"
"Kak Aldo ngira kamu cuma anggap dia Kakak."
"Makin sok tahu deh, lo. Apasih, nggak usah ikut campur."
"Terserah kamu mau percaya aku atau enggak. Tapi, aku mau ngucapin selamat buat kamu, Mel."
"Makin nggak jelas, selamat buat apa?"
"Selamat karena kamu udah punya sahabat yang lebih baik daripada aku," ucap Leona sambil tersenyum.
Kenangan masalalu terekam jelas dalam pikiran Mely saat ini. Dulu dia berteman baik dengan Leona, Mely adalah teman satu-satunya cewek berkacamata itu.
Rasa sesak kembali menguap begitu saja, Mely ingin melupakan semua kenangan buruk dimasa lalu, tapi kenapa selalu saja ada yang mengungkitnya. Andai saja Leona jujur saat itu, mungkin mereka masih berteman dekat sampai saat ini. Mely tidak akan menjauh dari Leona jika saja cewek itu membelanya saat dituduh mencelakai Kak Zea dan di cap sebagai perusak hubungan antara Kak Zea dan Kak Aldo. Sejak saat itu Mely malas berteman dengan banyak orang. Sampai akhirnya Sabita datang dan merubah sudut pandangnya bahwa tidak semua orang sama. Orang baik masih ada di muka bumi.
Alasan itu pula yang membuat Mely selalu menolak ajakan Kak Aldo untuk bertemu, dia takut terluka lagi, dia takut salah paham lagi. Perasaan Kak Aldo kepadanya masih saja dia anggap abu-abu.
"Iya, Sabita memang jauh lebih baik daripada lo. Gue yakin dia nggak akan pernah berhianat seperti yang lo lakuin dulu. Yang dengan teganya nyebarin berita hoax tentang sahabatnya demi uang yang nggak seberapa dari Kak Zea."
"Aku terpaksa, tapi aku tau itu memang sepenuhnya salah aku."
"Basi!" Mely menggebrak mejanya sendiri, dia malas mendengarkan penjelasan lebih panjang lagi dari mantan sahabatnya itu. Memutuskan pergi dari kelas dan meninggalkan Leona yang langsung tertunduk penuh penyesalan.
Tak sengaja Mely menabrak Zidan, cowok itu jelas melihat bahwa Mely menangis. Sesegera mungkin Mely menghapus air matanya dan memilih menghindar dari keramaian, tapi Zidan berhasil menahannya. "Lo kenapa?"
"Kenapa apanya? Gue nggak papa."
"Bohong, lo nggak mungkin nangis kalo nggak ada apa-apa, Mel."
"Siapa yang nangis, cuma kelilipan doang. Lepasin tangan gue, Zidan."
"Sabita mana?"
"Nggak tahu, belum dateng. Nggak berangkat kali. Lepasin Zidan, gue mau ke toilet," bohong Mely.
"Mel, gue suka sama lo," ujar Zidan.
Mely berhenti berusaha melepaskan cengkraman Zidan di pergelangan tangannya, menatap cowok itu dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya besar. Sama sekali tak percaya dengan apa yang barusan Zidan katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Sabita [Terbit]
Teen FictionIni tentang Sabita, pemilik senyum pura-pura. Senyumnya manis, tapi ada kesedihan yang ia coba tutupi. Pindah sekolah dari Bandung ke ibu kota menjadi awal kehidupan barunya dimulai. Satu yang ia sukai saat menatap langit malam, bulat sabit. Menurut...