Bianglala

398 45 24
                                    

Gerimis yang tiba-tiba turun sedikit mengganggu rencana Aditya dan Sabita untuk jalan bersama. Kini keduanya menatap rintik-rintik air yang jatuh ke tanah di teras rumah Sabita.

Gadis yang kini sudah mengganti seragamnya itu terlihat sudah sangat siap untuk pergi. Rambutnya sengaja dibiarkan tergerai, outfit selutut berwarna putih-biru, serta sedikit polesan make up semakin membuat gadis itu terlihat cantik.

Begitupun dengan Aditya yang sebelumnya sudah pulang ke rumahnya. Kini cowok itu hanya memakai kaus berwarna hitam dibalut jaket serta celana jeans yang dia sobek sendiri bagian lututnya. Kesan sebagai cowok cool semakin melekat dengan mengenakan pakaian seperti itu.

"Hujannya makin deras, Kak. Jadi gimana?" tanya Sabita, raut wajahnya berubah kecewa.

"Tunggu bentar lagi," jawab Aditya.

"Aku bosen, Kak Adit berani nggak main Truth or Dare sama aku?"

Cowok itu berpikir sejenak lalu mengangguk, meski sebenarnya dia sendiri kurang suka bermain seperti ini. Lebih dari itu, Aditya takut ditanyai macam-macam.

"Siapa dulu?" tanya Aditya akhirnya. "Gue pilih truth," lanjutnya.

"Oke, aku dulu tanya Kak Adit." Sabita mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu, memikirkan pertanyaan yang pas untuk Aditya jawab.

"Apa bedanya aku sama kucing?"

"Hah?" Kening cowok itu berkerut, normal kembali saat menyadari, bukan Sabita jika tidak aneh pertanyaannya.

"Ya beda, lo mau disamakan dengan kucing?"

"Kok jawabannya gitu?"

"Terus?"

Sabita berdecak, "Harusnya dijawab gombalan, Kak. Udahlah gantian," ujar Sabita.

Aditya tertawa, "Emangnya lo mau punya pacar tukang gombal?"

Sabita menggeleng pelan, "Tukang gombal biasanya playboy, nggak mau."

"Sekarang giliran gue kasih pertanyaan?" tanya Aditya, Sabita mengangguk cepat. Dia menduga-duga pertanyaan apa yang akan Aditya tanyakan.

Cukup lama Sabita menunggu, Aditya tak juga membuka suara, Sabita menghembuskan nafas kesal. "Kak Adit, pertanyaannya apa?"

"Pertanyaannya ...." Ucapan Aditya menggantung diudara, cowok itu mengamati langit yang perlahan cerah kembali. Sejujurnya dia sangat kebingungan memikirkan pertanyaan untuk Sabita.

Semakin kesal, Sabita bangkit dari tempat duduknya. Memilih menyudahi permainan yang seharusnya sederhana itu. "Udahan aja, Kak Adit kelamaan. Bisa jamuran nunggu Kak Adit kasih satu pertanyaan doang," rajuk Sabita.

"Tunggu!" Aditya meraih pergelangan tangan Sabita, "Kalo seandainya gue nyakitin lo, gue buat kesalahan besar yang ngebuat lo berubah jadi benci gue. Sebesar apa kemungkinan lo bisa maafin gue?"

Sabita kembali duduk, mengepalkan kedua tangannya pada tangan Aditya. Lalu tersenyum hangat dan berucap, "Aku yakin, Kak Adit nggak akan pernah ada niatan nyakitin aku, jadi seandainya Kak Adit ngelakuin kesalahan, aku pasti bisa maafkan kesalahan itu."

"Lo terlalu baik jadi cewek. Pasti gampang banget buat orang lain manfaatin lo."

Sabita menggeleng untuk menyembunyikan semuanya dari Aditya. Selama ini dia memang sering dimanfaatkan. Terutama oleh teman-temannya di Bandung dulu. Selain karena Sabita terlampau polos, gadis itu juga sangat tulus. Mau melakukan apa saja asalkan orang lain tidak membencinya.

Aditya menarik hidung mancung Sabita, "Keliatan banget kalo nggak jujur. Ceritain apapun yang lo alami sama gue. Gue nggak akan banyak ngomong, tapi gue selalu siap untuk jadi pendengar buat lo."

Namanya Sabita [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang