Kuyyyy ah, happy reading. Jangan lupa makan nasi biar kuat yesss.
.
.
.
.
.JAY POV
Jika hidup sebuah pilihan, aku tidak ingin memilihmu menjadi apa yang harus kuraih tapi tak bisa tersentuh. Bagian diriku sakit bila mengingat itu.
Sungguh.
Seandainya waktu bisa kembali berputar, aku tidak akan pernah memintamu menjadi bagian dari kisah hidupku, mengingat kisah hidupmu pun bukan untuk melengkapi kisahku.
Hidup itu pilihan, bukan begitu?
Apa yang membuat kita menangis maka tinggalkan, dan apa yang membuat kita tersenyum maka pertahankan.
Tapi masalahnya, tangis dan tawa itu adalah obat untuk membuatku tetap bertahan hidup. Melepas salah satunya, tetap saja akan membuatku mati.
Semua hal yang ada di dalam pria itu adalah obat yang mematikan tapi juga memberikanku kehidupan.
Pada akhirnya kuputuskan untuk berhenti menelan obat itu. Biarkanlah aku mati, Jay yang dulu akan mati. Itu lebih baik, bila harus terus menerus seperti kemarin.
Bodoh, terlalu percaya diri dengan tingkat halusinasi yang tinggi. Sikap yang Arya benci dariku. Cinta buta, dan itu memang membutakan kewarasanku.
Untuk terakhir kalinya, aku kembali membulatkan tekad dan niat kalau jalan yang kupilih emang sudah benar adanya. Memang harus seperti ini.
Tidak lupa sepucuk surat kutitipkan pagi tadi pada Ryu untuk ibu, aku yakin Ibu sudah ada di flat. Ponsel sudah ku non aktifkan semenjak kulangkahkan kakiku keluar di penghujung hari itu.
Hingga hari ini, aku tidak berani untuk menyalakan ponsel, selama tiga hari sampai detik ini, karena aku tidak akan pernah sanggup untuk mengabaikan Ibu. Dan karena ini adalah permintaan dari Arya, jadi sudah kuputuskan untuk menjadi durhaka, menjadi anak pungut yang tidak tahu terima kasih pada Ibu.
Mengucapkan perpisahan hanya melalui secarik surat.
Kembali kupandangi suasana jalanan dari balkon, sebelum akhirnya beranjak masuk dan duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Ryu.
Dalam keheningan hatiku lebih merasakan nyeri yang tak terlukiskan. Seolah hancur lalu menghilang dan tidak bisa kembali utuh. Hingga menyisakan setengahnya yang rapuh.
Kutatap langit-langit atap ruangan, menerawang kembali perjalanan hidup yang sudah kulalui hingga di titik sekarang ini. Aku benar-benar merasa sangat bersyukur atas keberuntungan hidupku. Terlepas siapa aku ini? hanyalah anak pungut yang kehilangan ibunya saat masih kecil, tanpa adanya sosok seorang Ayah.
Siapa Ayahku? dimana dia? apa dia tahu keberadaanku?
Pertanyaan yang sering berputar-putar di dalam benakku. Tapi sungguh, aku sudah tidak peduli akan siapa sosoknya, dimana keberadaannya, hidup atau sudah mati.
Karena saat kepergian Ibu kandungku, ada kehadiran Ibu Mia beserta keluarganya dalam hidupku, sukses membuat pikiran melupa akan itu semua. Seolah ada pegangan yang menuntunku untuk terus melangkah berjalan ke depan tanpa meratapi yang telah lalu.
Kuhembuskan napas yang berasa mencekik, menutup mata sejenak untuk menenangkan diri. Gejolak emosi kala teringat hal-hal melankolis tadi selalu membuat hatiku lelah. Rasanya ingin menghilang begitu saja.
Tanpa sadar, bibirku sudah menyenandungkan sebuah lagu penghilang lara, yang selalu ku nyanyikan bersama Stefan dan Sella. Hingga bait terakhir lagu, tangisku berderai kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated For You
RomanceKatakanlah gadis itu meminta hal yang begitu mustahil, terkesan tidak tahu diri. Tapi nyatanya, wanita paruh baya yang dia sebut Ibu itu, mengabulkan permintaannya dengan senang hati. Memberikan putra satu-satunya penerus keluarga Santawisastra kep...