Hi readers mana jempol kaliannnnn!!!
Jangan lupa klik bintangnya and enjoy the chapter! Uhuy
.
.
.
.
.Jihan Jaiyana (Jay)
Guess it's never really over!
Tentang apa yang kurasa telah berakhir, nyatanya belum. Sekeras apapun aku membatasi diri tetap saja---memori tentangnya selalu menghantui.
Hatiku berdebar, tapi tidak dengan isi di dalam kepalaku. Mereka berdebat hebat saat pria itu mengambil alih hati ini. Mau bilang aku perempuan gampangan? Murahan? Yang hanya dengan rayuan receh bisa semudah itu luluh?
Terserah orang mau menilai apa, karena selama lima tahun ini, aku yang merasakannya.
Aku menerima usahanya untuk bersikap baik, tapi bukan berarti aku jatuh begitu saja ke dalam pelukannya. Entahlah, hanya saja aku tidak bisa bersikap sebagaimana perempuan yang mempertahankan ego untuk sebuah rasa sakit hati. Itu sungguh melelahkan.
Sekarang, aku tidak membencinya. Bahkan aku memang tidak pernah bisa membencinya, setelah apa yang kualami selama ini. Hanya saja rasa kecewa akan perlakuannya yang lalu masih membekas dan terpatri jelas setiap kali aku mengingatnya.
Dan saat mengingat masa-masa itu, yang masih bisa kuingat kembali adalah hal-hal yang sudah membuatku jatuh cinta padanya.
Yeah i know i'm so so sooo dumb.
Tentang tawarannya, memulai dari awal. Aku berpikir untuk lebih mengenalnya saja secara mendalam, karena saat remaja hingga sekarang, Arya sosok yang sangat tertutup. Terlebih menanyakan hal-hal yang selama ini ingin kutanyakan tanpa harus beradu urat atau mengedepankan emosi.
Kalau ada pilihan menghadapi ini semua dengan kepala dingin, kenapa tidak dicoba?
Mengikuti arus bukan berarti pasrah dan menyerah lalu mengaku kalah.
Karena aku tahu, apa yang harus aku lakukan, bagaimana seharusnya aku bersikap dan kemana pada akhirnya akan kubawa.
🌸🌸🌸🌸🌸
Mahakarya Dewa (Arya)
Sewaktu usiaku menginjak delapan tahun, kami----aku dan Ayah sedang bermain bola basket di halaman belakang. Beliau mengajarkan bagaimana teknik bermain yang baik. Mengelabui lawan, berkoordinasi dengan kawan, membaca situasi hingga mencetak poin dengan memukau.
Terdengar sangat mudah, semudah orang-orang menilai segala sesuatu dari sisi kesalahan.
Sering kali aku membuat kesalahan, hingga semangatku berada di titik terendah, dan ya! Orang-orang menilaimu sedemikian buruk.
Kembali saat aku berada di sesi One on One bersama Ayah kala itu. Bocah lelaki emosional yang gemas karena belum sepenuhnya bisa menguasai teknik bermain olah raga favoritnya. Sering kali amat sangat banyak melakukan kesalahan karena kurang sabar dan fokus.
Kulemparkan bola dengan rasa marah hingga memantul dan masuk ke dalam rumah melalui kaca jendela. Yeah i broke it. Pecahannya melukai Rani yang sedang bermain piano di samping jendela.
Walau terluka tidak parah, Ayah-Ibu-maupun Rani tidak marah, hanya saja aku di hantui rasa bersalah yang cukup lama. Membuatku mogok menyentuh kembali bola basket.
Rupanya Ayah menyadari hal itu. Lalu beliau mengajakku memancing di danau desa, di mana hanya ada kita berdua. Bukan tanpa maksud Ayah mengajakku kesana.
"Kenapa tidak mau main basket lagi, Nak?" tanya Ayah memecah keheningan.
Aku hanya mematung, enggan menanggapi. Hanya terdiam dengan fokus ke arah pancingan yang belum terjamah umpannya. Rasa takut, malu dan gengsi lebih mendominasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated For You
RomanceKatakanlah gadis itu meminta hal yang begitu mustahil, terkesan tidak tahu diri. Tapi nyatanya, wanita paruh baya yang dia sebut Ibu itu, mengabulkan permintaannya dengan senang hati. Memberikan putra satu-satunya penerus keluarga Santawisastra kep...