Happy reading readers setia Jay dan Arya
.
.
.
.
.Rumah pohon saat senja hari ini.
Mengukir cerita saat mimpi menjadi pasti.Semburat warna jingga kala sang surya bertemu di sisi peraduan, mengucap perpisahan sekaligus menyambut datangnya sebuah awal.
Jarak tak lagi begitu berarti, karena hati mengucap janji untuk tak pernah pergi.
"Tempat ini, gak pernah berubah dari terakhir aku lihat" Arya tersenyum simpul sambil menoleh pada gadis yang tengah menatap hamparan kebun teh di sisi nya.
Pria itu berpindah posisi dari tempatnya berada, berdiri di belakang sang gadis lalu memeluknya. "Kalau aku mau mengubah tata letak kebun teh---" telapak tangannya membelai kulit lengan gadis itu dan menautkan jari jemarinya ke dalam genggaman, "----aku bakal gak sanggup, terlebih mengubah kenangan yang sudah terpatri di dalam ingatan kamu"
Dikecupnya puncak kepala Jay, gadis itu menoleh dan tersenyum.
Jari-jarinya ikut membalas tautan genggaman hangat Arya, membelai lembut buku-buku jarinya yang panjang dan kokoh, hingga merasakan permukaan logam yang melingkar di jari manis pria itu.
Jay tersenyum tipis, sudut bibirnya berkedut, dipalingkan wajah kembali menatap ke arah hamparan kebun teh. Jari-jari sebelah tangan kirinya yang bebas ikut memainkan permukaan logam yang sama, yang melingkar di jari manisnya.
"Kesannya kurang kerjaan banget sampai aku harus mengubah itu semua" Jay tertawa mendengar kalimat lanjutan dari bibir pria itu. Mau tidak mau, Arya ikut terkekeh, membenamkan wajahnya pada rambut Jay. Menyusuri aroma manis yang menguar pada rambut dan kulitnya.
Kecupan-kecupan kecil diberikan Arya secara bertubi- tubi di tengkuk dan ceruk leher gadis itu. Kembali jay terkekeh saat merasakan geli dan gelenyar aneh dalam dirinya.
"Makasih juga loh udah merawat rumah pohon ini" Jay kini menghadap Arya, dan mendapati tatapan dalam dari netra hitam itu.
Arya tersenyum, "Sama-sama" dirangkumnya wajah sang gadis, jay mendongkak dan makin merapatkan diri, memeluk tubuh sang adam.
"Makasih juga udah nekat diem-diem kabur dari pingitan" Jay memberikan cengiran lebar, membuat Arya meringis, mengingat kalau dia sudah melanggar peraturan Mia.
Dilarang bertemu apalagi berduaan menjelang hari pernikahan!
"Lagian Ibu aneh, ngelarang ketemu tapi kita masih tinggal di atap yang sama" protes Arya sambil mengecup bibir calon istrinya.
Jay sedikit mendorong dada Arya hingga ciuman mereka terlepas, "Satu atap dari mana" sebelah alis nya terangkat ditambah ekspresi sinis yang terpancar, "Ibu nugasin kamu dua bulan di Puncak. Jelas kita selama itu gak tinggal satu atap".
"Dan aku bela-belain kesini, diem-diem karena ada yang nangis-nangis di telfon, saking kangennya sama aku" bisik pria itu lagi dan mencuri ciuman di pipi gadisnya yang merona.
Jay melotot tidak terima, "Gak usah ngarang deh, siapa yang nangis-nangis di telfon?" Gadis itu melepaskan pelukan di pinggang Arya, lalu berjalan memasuki rumah pohon.
"Mau jadi istri kok masih gengsi" gumam pria itu dibelakang Jay, mengikuti langkahnya masuk ke dalam.
Sebetulnya gadis itu merasa kesal hingga rasanya ingin menangis, dia memang menangis---hanya menyangkal saja.
Ada pepatah yang mengatakan bila menjelang pernikahan ada saja godaan dan cobaan yang menerpa salah satu atau bahkan kedua calon mempelai, dan itu dirasakan Jay tiga hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated For You
RomanceKatakanlah gadis itu meminta hal yang begitu mustahil, terkesan tidak tahu diri. Tapi nyatanya, wanita paruh baya yang dia sebut Ibu itu, mengabulkan permintaannya dengan senang hati. Memberikan putra satu-satunya penerus keluarga Santawisastra kep...