Darimu Aku...

8 1 0
                                    

Hai, seseorang yang pernah menyempatkan diri untuk berbicang berdua bersamaku kemarin. Terimakasih karena telah menyempatkan waktu selama kurang lebih satu jam untuk mendengarkan ceritaku tentangnya. Seseorang yang begitu kau kenal baik saat berada di warnet, kini warnet itu sudah tergantikan dengan kedai jajanan tradisional.

Dia yang menjadi temanmu tertawa, saat sebenarnya dia sedang kesulitan untuk berbicara denganku. Mengeluhkan sikap protes dari orang-orang di rumahnya. Aku pun tak habis pikir kenapa aku bisa memanggil dan memilihmu untuk giliran membantuku, hal yang sebenarnya aku takutkan jika dia tau karena dia tak merasa senang jika aku melibatkan orang lain dihubungan kita. Baik, cukupkan saja pembukaannya. Semua ini berawal dari hilangnya komunikasi dua arah kita, tepatnya dia. Sejak Agustus awal, ia sudah menunjukkan tanda-tanda menghadapi kebosanan. Itu terlihat pada semakin jarangnya rutinitas yang kita lakukan berdua, untuk sekadar makan seafood, seblak, atau nongkrong buat ngopi, ngobrol, melihat pertandingan bola, bermain sepeda atau sekadar jalan - jalan jauh ke alun-alun di kotanya. Entah mengapa aku akui ia lebih sering pulang pergi ke rumah hanya untuk menemui orang tuanya, sesuatu yang berubah 180° dari yang pernah ia ceritakan sebelumnya. Pertengahan Agustus masih belum ada tanda bahwa ia akan memperbaiki komunikasinya, akhir Agustus terpaksa kutemui dia di warnet, aku menunggunya selama dua jam hingga kelar permainan, namun tanggapannya cuek bahkan untuk sekadar bertanya aku menemuinya bersama siapa pun tak ada tanggapan. Aku bertanya mana gelangnya, dia bilang di rumah dan ia berjanji untuk mengambilnya keesokan harinya, sempat kupikir dia menyepelekan omongannya kala itu, ia memintaku untuk mencopot gelang yang kubeli di luar kota, sementara kini ia tak memakai gelang yang kita beli berdua, baik tak masalah, aku sabar di sini. Besoknya kutemui dia di tempat lesnya, tampangnya datar, dan kini ia mengantarku pulang, sengaja aku tak segera turun dari motornya sementara ia terlihat marah dan berbicara ingin segera pulang, percakapan kita diperhatikan oleh sekeliling termasuk mobil yang berada tepat di belakang kita beberapa kali menyalakan klakson padahal kita sudah menepi di pinggiran, "besok kita obrolkan". Nyatanya hingga besok dan besoknya tak ada tanda bahwa dia akan menemuiku. Kukabari dia seperlunya, kutanyakan kabar di mana, ajak main, ajak sarapan, memintanya untuk mengajariku sepeda. Nyatanya nihil. Agustus berlalu, aku masih memegang password sosial media dia, instagram dan facebook, terlihat dia menghapusku dari daftar follower, mungkin biar aku tak tahu apa yang dipostingnya, sayang ia mengubah tampilan instagram ke publik jadi semua orang bisa melihat kecuali yang ada di daftar blokir, ia pun menghapus foto kita berdua, hanya foto dua gelas susu ketika liburan di Lembang. Namun itu sangat berarti buatku. Aku tak menanggapi hal itu, pura-pura saja tak tahu, hari demi hari aku masih rutin meneleponnya, meminta kabar, memintanya bertemu, masih nihil. Kubuka instagramnya, dia posting sebuah foto sedang berada di stasiun, esoknya ia posting foto di sebuah kedai di Semarang. Kutarik nafas perlahan, untuk sekadar mengingat ulang bahwa ia rela membatalkan pergi ke Semarang hanya untuk menemani hari-hariku, mengerjakan tugas, main, membicarakan rencana bisnis. Baiklah, kucoba untuk tak terlalu peduli, kuhapus semua foto yang tinggal tersisa beberapa, kurapihkan tampilan instagram dengan hanya berfokus pada foto pemandangan dan kata-kata saja, kuhiasi dengan frame yang senada agar terlihat indah dipandangnya, melirik ke dartar follower yang pernah ditertawakan teman, makin sedikit saja, kubatasi following juga hanya untuk beberapa akun yang memang kuperlu, di sini aku belajar untuk bijak bersosial media, darinya yang diam-diam membuatku berpikir banyak. Hari demi hari berlalu, ia masih belum ada kabar. Kubuka instagramnya kembali, kini ia mendiamkan story yang kubuat, baik tak masalah. Hari berikutnya, sudah hari kesekian sengaja aku tak memakai foto profil pada beberapa sosial media, ketika kubuka pagi hari instagramku sudah memakai foto profil, entah aku yang kelupaan mensinkronkan dengan facebook yang berfoto profil sama atau dia yang sengaja membukanya, entahlah. Sedikit senang di sini, karena kuanggap ia masih peduli terhadapku diam-diam, setelah dua hari sebelumnya ia miscall balik, merespon. Sayang, aku tak segera membalasnya kubiarkan sampagi pagi baru kusapa dirinya. Sudah ke-100 kali lebih aku coba untuk menghubunginya melalui jalur telepon, sudah puluhan chat yang kukirimkan melalui WA, line dan sms biasa hingga puncaknya WA dan instagramku diblokir. Entah kenapa.
Kucoba temui dia di dekat rumahnya, ingat jangan sampai bertemu di rumah, hubungan kita backstreet, satu jam aku menunggunya sambil berdiri, mencoba kirim sms dan telpon sesekali, sempat diangkat namun dimatikan lagi.

"begitu ceritanya"
"yaudah, coba besok kamu ke warnet, nanti aku bantu biar dia gak cuek lagi"

***
"dia gak main hari ini, bilangnya mau pulang"
"padahal aku rencana pulang besok, lho" kuberikan emot heran pada
"sabar-sabar salut sama perjuangannya"
"dia padahal tau aku sabar"

UNTUK SETIAP CANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang