Seketika perasaan bahagia membuncah, sampai Wonho sulit mendeskripsikan bagaimana rasa bahagianya. Senyuman di bibirnya ototmatis tersungging walau tak ada sesuatu yang lucu.
Segala pikiran dan kekhawatiran mengenai Hyungwon yang akan pergi meninggalkannya turut menguap pergi. Tidak ada sedih, tidak ada khawatir, tiada perasaan lain selain bahagia.
Wonho terbangun setelah orang tadi menggoyang goyangkan lengannya. Begitu matanya terbuka raut khawatir si asing langsung menyambut. Untuk mengurangi rasa bersalah, Wonho mulai bercerita bahwa dirinya ini seorang pengidap narcolepsy. Jadi untuk menenggak lagi pil barusan, tentu akan membawa pengaruh semakin buruk bagi kesehatannya.
Semakin buruk berarti kemungkinan Hyungwon akan meninggalkannya juga semakin besar. Sekelebat ide cemerlang tiba tiba melintas, jika ada pil yang bisa membuatmu tertidur pasti ada juga bukan pil yang membuatnya susah tertidur?
Lelaki berparas kelinci itu akhirnya mengajukan pertanyaan, apa si asing ini punya pil lain yang membuatnya tidak bisa tidur?
Si asing tersenyum, Jawabannya tentu saja ada. Namanya amfetamin, pil itu akan mampu membuatmu terjaga lebih lama. Ia tampak merogoh tas kecil di meja, dan mengeluarkan beberapa butir obat warna putih dalam plastik bening, lalu menyerahkan benda terlarang itu pada Wonho secara cuma cuma.
Wonho pikir seorang penderita narcolepsy seperti dirinya sudah seharusnya membutuhkan amfetamin. Tidak peduli amfetamin tergolong narkoba atau bukan, itu bukan sesuatu yang penting untuk diperdebatkan.
Malam itu Wonho tersenyum sangat tampan, merasa menemukan solusi atas segala permasalahannya. Narcolepsy akan sembuh dan Hyungwon akan tetap berada di sisinya.
Perlahan tapi pasti, butiran pil berwarna putih itu seperti menjadi kehidupan kedua Wonho setelah Hyungwon. Ia kecanduan amfetamin setara dengan kecanduannya pada rokok dan bir.
Wonho cukup tau diri, sejauh ini ia tetap mengontrolnnya. Sebutir dalam sehari agaknya mampu membuat penyakit sialan tersebut musnah perlahan.
Sejak amfetamin menemani hari harinya, Wonho lebih sering khawatir. Khawatir bila suatu saat Hyungwon menemukan amfetaminnya. Kalau di tanya mengapa penyakitnya sudah jarang kambuh, maka Wonho akan menjawab, ia sudah belajar mengendalikan perasaan.
Resiko lain yang harus diterima selain khawatir ketauan adalah kesulitan tidur. Ini sih memang harapan Wonho. Pola tidurnya berubah drastis, bahkan ia bisa tidur dua hari sekali. Namun lelaki kekar itu selalu berpura pura tidur setiap malam tanpa mengeluh apapun pada Hyungwon.
Serapat apapun Wonho menyembunyikan barang beradiksinya, cepat atau lambat Hyungwon pasti tau juga. Ini juga karna kecerobohan Wonho meletakkan pil itu sembarangan di meja belajarnya, padahal setiap habis minum dia akan menyimpannya di laci.
Untung saja Hyungwon tidak curiga saat Wonho berkata itu adalah obat antibiotik untuk hewan. Hyungwon jelas percaya percaya saja, Wonho kan dokter hewan bukan hal aneh jika dia punya butiran obat, dan lagi Hyungwon tidak mengerti jenis jenis obat.
Sampai suatu malam Wonho membongkar seluruh laci di kamarnya karna tidak bisa menemukan pain killer berupa zat adiktif tersebut.
Kamar yang tadinya rapi, berubah berantakan seperti baru terkena badai tornado. Pakaian, buku dan kertas kertas laporan praktikum berhamburan bebas ke segala penjuru. Wonho yakin kemarin ia meletakkannya di tempat biasa, tepatnya di laci meja belajarnya. Tapi sekarang benda itu lenyap entah kemana.
"Brengsek! Dimana dia?" Wonho mengacak rambutnya frustasi, ia sungguh membutuhkan pil itu sekarang!
"Astaga Wonho! apa yang sedang kau lakukan? Kenapa kamarmu berantakan begini?" tanya Hyungwon heran.
Lelaki tinggi itu baru saja pulang dari rutinitasnya mengerjakan tugas akhir di kampus, dia sempat makan pasta bersama Minhyuk dulu sebelum pulang tadi.
"Aku sedang mencari sesuatu, tapi aku tidak bisa menemukannya dimanapun" jawab Wonho kesal, kedua tangannya masih sibuk mengaduk aduk peralatan dokternya, siapa tau terselip disana.
Raut muka Hyungwon berubah serius secara tiba tiba, ia seperti tau apa yang Wonho cari. Untuk jaga jaga saja ia meletakkan ranselnya di ruang tengah dan kembali berdiri didepan pintu kamar Wonho. Karna Hyungwon menebak urusannya akan panjang setelah ini.
"Memang apa yang kau cari? Buku? Atau peralatan doktermu?" tanya Hyungwon pura pura tidak tau. Tubuhnya ia sandarkan diambang pintu dengan kedua tangan terlipat rapi.
"Aku mencari obat, bentuknya tablet berwarna putih. Apa kau melihatnya?" Wonho masih mengacak acak isi tasnya, dia sudah melempar stetoskop, termometer, dan bermacam macam pinset yang Hyungwon tidak mengerti jenisnya.
"Oh obat warna putih yang kau simpan di laci?" tebak Hyungwon.
"Ya. Kau melihatnya?" Wonho mengalihkan pandangannya pada Hyungwon, wajahnya tampak antusias. Wonho membutuhkan kehidupannya sesegera mungkin.
"Aku sudah membuangnya ke kloset tadi pagi" jawab Hyungwon enteng tanpa dosa, tanpa merasa bersalah, seolah dia baru saja membuang makanan basi ke tempat sampah alih alih membuang obat kehidupan milik Wonho.
Ya, Hyungwon memang membuangnya sebelum berangkat ke kampus tadi, karna Wonho berangkat lebih dulu bersama Jooheon, hari ini jadwalnya praktek ke penangkaran hewan.
"Apa?" mata monolid Wonho memicing, memastikan agar tidak salah dengar mengenai kalimat yang meluncur dari bibir tebal sang belahan jiwa.
"Aku. Membuangnya. Ke. Kloset" Hyungwon menekan setiap kata dari mulutnya, pertanda ia serius.
Hyungwon sudah siap dengan segala resiko atas tindakannya, menerima amukan atau makian Wonho misalnya.
"Demi Tuhan Hyungwon! Kenapa kau membuangnya ke kloset?" Wonho bangkit dari posisi jongkoknya.
Raut mukanya mentapa Hyungwon tak percaya, seraya mengacak rambut kesal.
Hyungwon merubah posisi santainya, seolah siap berduel satu lawan satu dengan Wonho, "Obat itu tidak baik untukmu, lihat akibat dari—"
"Kau itu tidak tau apa apa! Obat itu adalah pain killerku" bentak Wonho emosi sebelum Hyungwon menyelesaikan kalimatnya.
Otot wajah sang dominan mengeras seiring dengan emosi yang makin memuncak.
"Benda itu bukan pain killer Shin Wonho! Benda itu narkoba!" teriak Hyungwon mencoba menyadarkan Wonho yang seperti bukan dirinya.
Bukan! Makhluk didepannya ini bukan seperti Shin Wonho yang ia kenal.
"Bagiku benda itu adalah pain killer Chae Hyungwon!" Wonho membantah.
Selama beberapa bulan tinggal bersama Hyungwon ini pertama kali Wonho membentaknya, kedua tangannya sudah mengepal di sisi tubuh menahan emosi.
Hyungwon mendekat, jika dua orang sedang terbakar emosi maka masalah tidak akan cepat selesai. Jadi Hyungwon memutuskan untuk menahan emosi dan bersikap lembut pada Wonho.
"Pain killer itu tidak akan merusak tubuhmu, apa menjadi kecanduan itu bisa disebut pain killer? Kau itu sudah kecanduan!" ujar Hyungwon halus, tangannya menangkup kedua pipi Wonho.
Hyungwon kira Wonho akan melunak, tapi ia malah menepis kasar kedua tangan yang bertengger dipipinya. Hyungwon kaget, karna selama ini Wonho tidak pernah menolak sentuhannya.
"Iya! Aku memang kecanduan!"
TBC
Begitu nyampe paris langsung selca kek gini, hmm jadi pengen ada from zero season 2
KAMU SEDANG MEMBACA
7621 | MONSTA X hyungwonho
Fanfiction[COMPLETED] wonho si pengidap narcolepsy memutuskan untuk memungut seseorang yang sedang menangis tersedu sedu di bilik mesin ATM.