Tommy dan beberapa orang temannya sudah pergi meninggalkan ruang meeting. Lio berdiri saat Mimi bersiap meninggalkan ruangan.
"Mi," panggil Lio yang sudah berdiri di sampingnya.
Mimi menatap bosnya.
"Iya bos?"
Lio mengusap tengkuknya,"gue tahu maksud lo baik kemarin ngomong kayak gitu ke Mia. Tapi biarin Mia milih sendiri gimana mau jalanin kehidupannya Mi."
Mimi menatap Lio bingung meski paham ke mana arah omongannya. Mimi mendesah.
"Gue ga mau dia jadi ga jelas," ucap Mimi.
"Dia jelas Mi, dia sama gue, gue ga mau dia ngerasa bersalah dan emosional lagi soal traumanya dia, parahnya sampai ngulang kebiasaan dia dulu. Gue cuma pengen lo lebih hati-hati ngomong sama dia," ucap Lio.
Mimi tampak merasa bersalah.
"Sorry Yo, gue ga maksud gitu...gue, tapi dia gpp kan? Dia baik-baik aja kan?" Mimi jadi khawatir.
"Gpp, cuman dia kayak ayam aja, bengong terus, ga tau pikirannya kemana," ucap Lio.
Mimi tampak lega, tapi masih merasa bersalah.
"Gue harap lo hati-hati kalau ngomong ya Mi," ucap Lio lalu pergi meninggalkan Mimi.
****
"Dimana?" tanya Lio lagi memastikan jawaban Mia bahwa dia tidak salah dengar.
Lio memijat pelipisnya, lalu mematikan sambungan telepon. Dengan terburu-buru dia membereskan barang-barangnya untuk dibawa pulang.
Dia berjalan cepat keluar ruangan dan pamit ke Mimi untuk pulang duluan.
Sesampainya di tempat parkir, dia melihat Rafael dan Niko baru keluar dari mobil.
"Hei, ada apaan?" tanya Lio.
Niko dan Rafael tampak merasa bersalah.
"Maaf bos, tadi ga sengaja Mia ketabrak motor, udah gue bawa ke RS juga, terus sekarang..." ucap Niko.
"Iya gue tahu dia di apartemen kan?" tanya Lio.
Niko dan Rafael kompak mengangguk.
"Tapi lo berdua gpp?" tanya Lio.
"Gak...gak apa-apa bos, kita ga kena," ucap Rafael.
Lio mengangguk,"yaudah gue balik dulu."
.
.
Sesampainya di apartemen, Lio melihat Mia duduk di sofa. Di tangan dan keningnya ditempel perban, dan ada balutan perban di pergelengan kaki kiri.
"Kenapa bisa ditabrak sih yang?" tanya Lio yang sudah duduk di samping Mia.
"Ga tau, orang aku lagi antri beli siomay di pinggir jalan," ucap Mia kesal.
"Terus yang nabrak kamu gimana?"
"Ya jatuh, tapi cuma lecet di kaki. Aku nih lecet di tangan, kepala kebentur, kaki aku keseleo," ucap Mia bersungut-sungut.
"Aduh aduh kasian," Lio lalu memeluk Mia.
Mia mengaduh,"kena kepala aku."
Lio terkekeh, dia memang paling suka kalau Mia manja.
"Kamu bawa makanan ga?" tanya Mia dalam pelukan Lio.
"Enggak," jawabnya.
"Aku laper, sarapan tadi udah habis. Gimana dong?"
Keduanya saling tatap dan Lio hanya bisa tertawa pelan, kekasihnya ini yang dipikirin cuma makanan mulu. Biarlah, paling gak dia udah ga sedih kayak kemarin.
****
Sakit di kaki Mia membuat gerakannya terbatas. Dan selama pemulihan, Lio yang setia membantunya untuk beraktivitas.
Mia masuk ke dalam ruang kerjanya dan menyapa beberapa temannya yang sudah datang. Baru juga duduk, dia mendengar suara Joshua yang lesu menyapa teman-temannya.
"Kenapa lo?" tanya Ambar yang duduk di samping Joshua.
Joshua mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustasi. Mia meliriknya sekilas sambil menyalakan komputernya.
"Gue putus," ucap Joshua lesu.
"Putus?!" tanya Ambar dengan suara tinggi, Mia kaget.
Mia melihat Joshua mengangguk.
"Kenapa bisa? Lo udah pacaran 5 tahun kan?" tanya Ambar.
Joshua mengangguk,"Dia milih nerima dijodohin Am."
"Loh? Bukannya dia bilang ga mau kan?"
Mia yang sebenarnya tidak berminat mendengarkan jadi denger karena saking kerasnya Ambar dan Joshua bicara.
"Iya awalnya, lama-lama mau, soalnya yang onoh ngajakin nikah. Katanya sama gue ga jelas, ngegantung lama, dia ga mau," curhat Joshua.
Gerakan Mia di atas keyboard berhenti saat mendengar ucapan Joshua.
Ambar mendesah,"ya elo juga kenapa ga lo nikah-nikahin sih? Pacaran udah lama, anak orang lo gantungin. Ya bener aja kabur."
Sepertinya rasa simpati Ambar menguap karena mendengar alasan kepergian si mantan Joshua.
"Ya gimana, gue belum siap Mbar, utang gue juga masih banyak. Gue takut kalau gue nikah sama dia, dia ngerasa kurang," Joshua menjelaskan.
"Siap ga siap, ya lo emang harus nikah. Umur lo udah 30 lebih, rumah punya, kerjaan oke, kendaraan ada, lo tuh cuma kurang istri sama anak," ucap Ambar.
Mia lalu mengingat Lio. Dibanding Joshua, Lio bahkan lebih siap. Dia menebak si mantan Joshua juga sudah siap untuk menikah.
Mia berpikir, jika salah satu dari keduanya ada yang belum siap, bisa jadi yang satu pergi.
"Gue niatnya tahun depan Am, tapi dianya ga sabar," ucap Joshua frustasi.
"Elo ngomong kayak gitu udah dari kapan? Dia juga mikir lo main-main apa serius hubungannya. Dah besok-besok kalau udah nemu cewek, langsung nikahin ga pakai lama," nasihat Ambar.
Mia yang mendengarnya menjadi khawatir.
.
.
.
Mia berjalan menuju pintu utama, dia dan Rafael berencana pergi ke lokasi untuk kirim revisi draft skenario yang baru.
Langkahnya berhenti saat melihat Lio menyapa ramah perempuan yang baru saja masuk ke kantornya.
Lio mengajak perempuan itu entah kemana, mungkin ke ruang meeting. Saat melihat Mia yang berdiri kaku, Lio sempat menyapanya sebentar.
Mia hanya tersenyum dan mengangguk, tapi matanya masih menatap Lio sampai masuk ke dalam lift.
Dia sampai tidak mendengar teriakan Rafael memanggilnya.
"Mi...Mia!!" Rafael yang kesal langsung menghampiri Mia dan menarik tangannya.
"Eh...eh kenapa sih ini?" Mia terkejut.
"Ya elo gue panggilin ga nyaut, buru-buru ini lo malah bengong liatin pacar lo," kesal Rafael.
Mia menurut mengikuti langkah Rafael yang menyeretnya.
Melihat Lio yang akrab dengan perempuan asing tadi membuat Mia berpikir yang tidak-tidak. Baru kali ini ia takut jika Lio terlalu akrab dengan perempuan.
Ini pasti gara-gara Joshua dan Ambar tadi. Otaknya mulai terkontaminasi dan dia bersumpah untuk menghapus ketakutan itu.
Mia meyakinkan diri bahwa Lio tidak seperti mantan pacara Joshua yang meninggalkannya karena belum dinikahin.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Arms Open
General FictionKenangan buruk di masa lalu, membuat Mia dan Lio tidak percaya apa itu cinta. Kedekatan keduanya karena pekerjaan membuat Mia membongkar rahasianya yang sudah dia tutup rapat selama ini. Bagaimana Lio dan Mia menyelesaikan traumanya?