Tatapan tajam ternuhus pada deretan 24 tuts, ditekan dengan ritme penuh menghasilkan irama yang terdengar emosi. Dada yang sedikit bergemuruh, menambah kecepatan ritme musik, sebelum gebrakan pada tuts pojok kiri menghentikan alunan luapan emosi tersebut."Ini keyboard ngga salah."
Laki-laki yang sejak tadi duduk dan meluapkan emosinya di depan piano hanya mendengus. Melanjutkan tarian jemarinya pada piano digital 2 oktaf di depannya yang terdengar menggema di ruangan senyap bergaya modern. Selain keyboard yang berada di sisi terjauh dari pintu masuk, terdapat beberapa gitar listrik dan gitar akustik yang berjejer rapi lengkap dengan standnya tak ketinggalan stand mic yang bertengger di barisan paling depan dan sebuah drum yang berada di sisi pojok lainnya.
Bersebrangan dengan alat musik ada ruangan yang hanya disekat oleh separuh dinding dan sisanya menggunakan kaca tebal. Tepat di tengah ruangan tersebut terdapat satu perangkat komputer lengkap dengan digital audio workspace juga audio interface dan beberapa microphone juga headphone yang menggantung rapi.
"Aksa."
Seseorang yang duduk tepat di depan layar komputer menghentikan kegiatan Aksa. Laki-laki itu mengambil jaketnya dan melangkahkan kakinya keluar studio musik.
"Ra usah ditanggapi komentar-komentar koyo ngono, lebih baik kamu selesaikan lagumu, wes rampung urung?"
Aksa menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan beraksen Jawa halus dari sang produser.
"Nyinyiran itu biasa, apalagi kamu sedang jadi sorotan. Nanti juga hilang sendirinya kalo kamu bisa buktiin sama prestasi kamu."
Aksa diam, walaupun tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Memang mudah mengucapkan, semudah mengatakan di tv bahwa minyak yang baik adalah minyak yang bisa diminum. Nyatanya? Siapa juga yang mau meminumnya.
"Dan soal lagumu, saya berharap lagu baru itu kalo bisa bertemakan cinta." Satriyo mengetukkan pulpen di tangan kanannya pada meja komputer. "Kamu tau, jaman sekarang orang itu lebih suka sama lirik lagu yang sederhana. Jadi saya harap yo kamu iso diandalkan soal koyo gini."
Helaan napas mengudara seraya matanya terpejam. Aksa benar-benar tidak habis pikir. Jadi produsernya minta ia diam saja dengan gosip yang beredar. Dan lebih fokus dengan lagunya. Bagaimana jika semua orang mengatakan kalau dia benar-benar gay? Apa Aksa harus menerima itu semua.
Setelah urusannya dengan Satriyo selesai, Aksa keluar dari dapur rekaman dan berjalan menuju parkiran mobilnya diikuti oleh Dhanu sang manager dan Okky asistennya.
Aksa men-swipe pintu mobil dan mengempaskan bokongnya keras dan menyenderkan bahunya dengan sedikit melesak, tangan kanan ia letakkan di kening, berusaha menghalau pikiran kacau yang mengganggunya belakangan ini. Tak memperdulikan jika mobil yang ditumpanginya sudah melesat menjauhi gedung perusahaan rekaman musik.
Jalanan kota Jakarta hari itu nampak padat, walau tak sepadat biasanya. Aksa sedikit terganggu dengan bunyi remah yang dikunyah Dhanu di kursi depan.
"Nu, gue udah sering bilang 'kan kalo jangan makan di dalam mobil?"
"Kita ngga ada waktu buat mampir makan, Sa. Ini udah sore, dan gue belum sempet makan siang tadi." Dhanu mengambil satu keping biskuit gandum yang tengahnya terdapat selai kacang dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Ya tapi tetap aja jorok." Aksa mendengus. Ia tak pernah suka jika mobilnya kotor.
"Nanti sebelum pulang gue bawa ke steam mobil, Sa." Okky yang fokus mengemudi ikut menjawab ketika kedua orang itu tak mau mengalah. "Besok gue pastiin sebelum berangkat ke Bogor ini mobil udah bersih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reportalove ✓
Romanceʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - ʏᴏᴜɴɢ ᴀᴅᴜʟᴛ Surat tugas dari pimpinan redaksi menyeret seorang perempuan bernama Imel Chelliana, reporter cantik berusia 30 tahun masuk ke dalam pusaran kehidupan seorang Aksa Delvan Arion. Musisi kenamaan yang dikenal dengan rumor gay nya...