chapter 11

7.1K 719 18
                                    

Ternyata, begitu sejatinya, ia pandai menyembunyikan luka, bertingkah seolah baik-baik saja, padahal sakit selalu yang tak terperih itu selalu ia rasa

° Reportalove °

"Oke, Aksa. Good job!"

Seorang laki-laki paruh baya berseru sambil menepuk kedua tangan ketika Aksa selesai dengan pengambilan gambar.

"Aksa itu pekerja keras, loh."

Okky yang baru saja duduk di samping Imel memulai percakapan. Kala perempuan itu tengah mengetikkan sesuatu pada layar tablet 10,5 inchi miliknya, tangannya menjulur menerima gelas yang disodorkan Okky. "Anaknya ngeselin emang, tapi kalo kerja profesional."

Imel mengangguk sebagai respon. Tangan kanannya masih sibuk dengan catatan digital yang ia tulis. Perihal Aksa, Okky sedikit mengintip ketika layar tablet itu mengarah padanya.

Dia profesional juga, ya. Gumamnya dalam hati.

"Setelah ini apa Aksa punya jadwal lain?" Okky justru tergelak. Rupanya Imel tidak tertarik dengan segala sisi baik Aksa, pikirnya.

Okky menggelengkan kepala sebagai tanda dia tidak habis pikir dengan Imel. Okky mengajak Imel masuk ke dalam ruang wardrobe. Selama perjalanan, ada-ada saja topik yang coba diangkat Okky sebagai bahan obrolan.

"Itu Aksa, tanya sendiri aja. Gue asistennya, bukan manager." Okky menunjuk Aksa yang tengah berbincang dengan salah satu crew. Cukup jauh, karena posisi mereka masih di luar ruangan, dan Okky hanya memberitahu keberadaan Aksa yang masih jauh.

"Gue ke WC dulu, ya?" Belum sempat Imel menjawab, laki-laki itu sudah berlalu meninggalkan Imel di depan ruangan wardrobe.

Imel sedikit ragu. Pasalnya, ia tidak mengenal siapapun di  tempat itu. Tapi, sedetik kemudian ia melangkah berniat menghampiri Aksa.

Deg!

Perempuan itu menghentikan langkah. Manakala iris cokelat tua miliknya menangkap kejadian yang sama sekali tak ada di dalam daftar hal yang ingin ia lihat.

Imel berdeham. Melangkah lebih dalam mendekati Aksa sambil menenteng kamera mirrorless di tangan, lalu berdiri di hadapan Aksa, menatap laki-laki itu dengan pandangan yang sulit dibaca.

"Ehh... Kenapa?" Aksa menahan senyum. Laki-laki itu berusaha besikap tenang di depan Imel kemudian menyugar rambut agar terkesan berwibawa. Sebenarnya dalam hati, ia sedang mengalihkan Imel agar tidak mendengar detak jantungnya yang tiba-tiba mengencang.

Imel tertawa, sebentar. Kemudian berdeham dan memasang wajah datar lalu melipat tangannya di depan perut. "Kamu ada jadwal apa lagi setelah ini? Kalo masih banyak, saya ke kantor dulu. Mau meeting sama redaktur."

"Nggak! Nggak ada jadwal apa-apa lagi." Aksa menggaruk tengkuknya. Tersenyum canggung pada Imel yang sedikit tersentak karena jawabannya kelewat keras.

Imel tertawa sepintas, lalu merapikan ekspresinya lagi agar terlihat profesional lantaran beberapa orang yang berlalu lalang keluar–masuk ruangan wardrobe mengarahkan berbagai tatapan ke arah mereka berdua. "Terus kamu mau ngapain sekarang? Saya bener-bener harus ke kantor."

Aksa nampak berpikir, otak yang selama ini hanya ia gunakan untuk menulis lagu akhirnya memiliki fungsi lain. Walau, ternyata pemikirannya membuat Imel menautkan kedua alis.

"Yaudah, gue ikut lo aja kalo gitu."

Selepas keluar dari ruangan wardrobe, mereka menghampiri Dhanu dan Okky yang tengah mengobrol dengan beberapa crew. Jangan pikir, ide Aksa tadi langsung diterima oleh Imel. Perempuan itu sempat menolak, tapi Aksa membujuk dengan dalih ingin melihat-lihat kantor dan inspirasi bisa datang dari mana saja. Kemungkinan di sana ia mendapat inspirasi. Sungguh! Pemikiran yang aneh menurut Imel. Tapi perempuan itu tak lagi mendebat Aksa. Laki-laki itu selalu mengalihkan ucapan saat Imel menolak. Keras kepala.

Reportalove ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang