Berhatilah dalam menerima kata, karena percaya bisa berujung pada luka. Rangkaian kata yang kau percaya bisa menerbangkan hingga ke angkasa, ternyata juga menghempasmu seketika.
° Reportalove °
Angin menerbangkan sisa-sisa rambut yang tidak ikut terikat. Serupa belaian lembut, Imel sedikit terlena dengan dengan angin pagi kala itu. Setidaknya, angin pagi dapat menenangkannya dari penat setelah begadang semalaman.
Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Kemudian beranjak dari bawah pohon rambutan, tempatnya dulu istirahat dengan teman lamanya di liputan berita. Baru saja ingin menjauh, matanya menangkap sosok yang ia kenal menghampirinya.
"Gue kira kuntilanak keluarnya malem doang, pagi juga ternyata," ucapnya seraya duduk bersandar pada pohon dan mengeluarkan kamera dari dalam tas.
"Kalo gue kuntilanak lo pocongnya berarti."
"Berarti gue satu-satunya pocong yang bisa motret." Ia tertawa pelan seraya mengecek hasil jepretannya. Kemudian menggaruk kepala hingga potongan rambut pendeknya terlihat acak-acakan.
Imel kembali duduk—di sebelah laki-laki itu—dan bersandar pada pundak kiri laki-laki tersebut.
"Kalo belum mau cerita nggak papa kok. Tapi, gue pasti nunggu lo sampe siap cerita sama gue." Seolah tak terganggu dengan beratnya tubuh Imel. Ubay, laki-laki yang sejak tadi sibuk dengan kamera itu masih mengotak-atik focal length pada lensa kameranya.
"Bay ... menurut lo, kalo gue nyembunyiin satu kebenaran gimana?" Imel bertanya, suaranya sedikit berat. Susah payah ia menyuarakan pertanyaan kala hatinya sendiri tak memercayai kebenaran tersebut. Rasa sakit menghimpit, antara perasaan tak terbalas juga perasaan mengkhianati. Membuat dadanya semakin sesak.
"Kebenaran emang ada yang nyakitin, Mel," ujar Ubay yang sekarang menatap nanar pada biru langit, "tapi ada kalanya kita harus menyembunyikan kebenaran itu sendiri. Bukan untuk egois, tapi justru untuk ketenangan semua."
Imel tertawa. Tapi telinga Ubay menangkap suara menyentuh, hampir sumbang. "Tapi bukannya tugas kita mengungkap kebenaran? Itu 'kan prinsip kerja kita?"
Ubay menoleh ke samping. Matanya menangkap sosok rapuh yang biasa berpura-pura tegas itu. Kemudian mengulurkan tangan guna mengusap pelan surai hitam Imel. Lalu menghapus jejak air mata yang sudah turun.
Ubay tidak berkata apa-apa lagi. Hanya isakan Imel di dadanya yang terdengar untuk beberapa menit. Ubay tahu, luka itu kembali dirasakan Imel. Tangan kirinya yang bebas mengepalkan tangan keras.
"Mel, denger gue. Lo nggak harus membeberkan semuanya. Cukup nggak menuliskan sebuah kebohongan. Beres."
Imel menatap Ubay. Tangannya bergerak mengusap kasar sisa-sisa jejak air mata. Kemudian tersenyum.
"Lo bener, makasih buat semuanya ya, Bay."
Laki-laki itu mengangguk. Kemudian menyugar rambutnya yang sedikit panjang di depan.
"Gue tebak. Ini soal si cowok homo itu 'kan?"
Imel kembali memasang wajah mendung. Luka itu kembali menganga ketika Ubay mengingatkannya akan orientasi seksual Aksa. Lukanya semakin dalam. Semakin perih terasa. Iris itu kembali mengembun.
Tebakan Ubay tidak salah. Karena ia telah diberi tahu oleh Nara perihal Imel yang sering menghabiskan waktu bersama Aksa.
"Gue minta maaf." Ubay kembali menghapus jejak kristal di sudut mata Imel sebelum meluruh ke pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reportalove ✓
Romanceʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - ʏᴏᴜɴɢ ᴀᴅᴜʟᴛ Surat tugas dari pimpinan redaksi menyeret seorang perempuan bernama Imel Chelliana, reporter cantik berusia 30 tahun masuk ke dalam pusaran kehidupan seorang Aksa Delvan Arion. Musisi kenamaan yang dikenal dengan rumor gay nya...