chapter 6

8K 789 29
                                    

**Selamat membaca**

"Kak Imel, ditunggu di ruangan Pak Henry."

Perkataan yang mengudara dari bibir Lisa agaknya membuat Imel sedikit frustasi saat ini. Sejak kepulangannya dari Bogor, perempuan berusia 30 tahun itu belum juga memberikan apapun hasil liputan ke meja redaksi. Dengan ragu Imel mengetuk pintu bertuliskan pimpinan redaksi.

Suara berat Henry yang mempersilahkan masuk membuat Imel harus mengembuskan napasnya pelan, guna menghilangkan kegugupan di dirinya. Ia harus siap dengan segala ocehan Henry mengenai deadline mewawancarai Aksa. Namun, justru sapaan hangat Henry yang ia terima saat membuka kenop pintu.

Belum cukup Imel dikejutkan dengan senyum Henry. Ia kembali dikejutkan manakala dirinya tersadar jika Henry tidak sendiri di ruangannya.

"Selamat pagi, Mbak Imel." Senyuman yang menampilkan  deretan gigi putih nan rapih serta kedua lesung pipi Imel terima. Laki-laki itu beranjak dari sofa berwarna putih gading yang ia duduki dan mengulurkan tangannya pada Imel. "Saya Dhanu, manager Aksa."

"Imel," jawabnya memperkenalkan diri.

"Saya dateng ke sini mau minta maaf atas kejadian kemarin."

"Oh, ngga masalah, lagipula wajar kalo Aksa bersikap seperti itu. Seharusnya kalian jujur." Imel menjawab sekedarnya.

"Dan, satu hal yang membuat saya datang ke sini," ucapan Dhanu sedikit terhenti, laki-laki itu menggaruk tengkuknya, "untuk meminta agar Anda tidak menulis artikel yang akan merugikan Aksa."

Perempat imajiner tercetak jelas di kening Imel. Perempuan itu masih mencerna ucapan Dhanu, sementara Henry, memasang wajah dengan penuh tanda tanya.

"Soal pengakuan Aksa."

Imel melebarkan matanya, ia tak menyangka jika laki-laki berdimple ini akan membahas hal itu. "Kalau untuk itu, bukannya Aksa sendiri yang sudah mengakuinya? Kenapa Anda meminta saya merahasiakan?"

"Bukan seperti itu, tapi Aksa sedang emosi kemarin. Dia tidak tahu apa yang dia ucapkan." Dhanu mencoba memberi pengertian.

Imel mengangguk, sebenarnya ia juga tidak berniat membahas apa yang Aksa akui kemarin, karena belum ada bukti nyata dari pengakuan Aksa. Hanya saja, sikap Aksa membuat Imel sedikit jengkel. Tidak salah kan jika Imel ingin membalasnya sedikit?

"Karir Aksa bisa benar-benar hancur jika berita itu tersebar," ucap Dhanu mencoba memberi pengertian.

"Terus?"

"Bukannya Anda sendiri yang tadi mengatakan bahwa Aksa sedang emosi? Kenapa Anda memanfaatkan emosi Aksa untuk keuntungan anda sendiri?"

"Memanfaatkan bagaimana? Jangan bicara sembarangan, ya!" Imel tersulut emosi dengan ucapan Dhanu, ia tak menyangka Dhanu dan Aksa sama kekanakannya.

Dhanu yang melihat Imel emosi, berlalu mengusap wajahnya kasar. Tapi tiba-tiba bagai ada titik terang, Dhanu menyeringai tipis, mungkin saja rencananya kali ini akan berhasil.

"Bagaimana kalau kita kerjasama?" Dhanu mencoba bernegosiasi.

"Kerjasama?"

Dhanu mengangguk, setidaknya Imel tidak langsung menolak ajakannya. "Bagaimana jika saya berikan kalian akses untuk meliput seluruh kegiatan Aksa?"

Ucapan Dhanu terdengar seperti sebuah angin segar bagi telinga Henry, laki-laki itu sedikit terlonjak antusias mendengar apa yang ditawarkan Dhanu.

"Album baru Aksa, keseharian Aksa, kami dari managemen memang berniat mengekspos kegiatan Aksa untuk meredam berita yang beredar. Kami pikir media harus tahu apa saja kegiatan Aksa, jadi masyarakat tidak menebak-nebak kenyataan soal Aksa."

Reportalove ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang