Part 9 CSD: Meminta maaf kepadamu

17.7K 1K 6
                                    

Aku melihat mobil Zein sudah meninggalkan panti asuhan. Aku menemui Adzka dan memberi tahu cara meminum obat yang sudah diberikan oleh Zein tadi. Setelah itu aku segera pulang ke rumah. Ada Aisyah juga yang akan menjaga anak itu.

Tiba di rumah, Umi sudah menunggu ku di ruang tamu.

"Dari mana? Umi lihat tadi Mba pergi kok buru-buru sekali" ujar umiku dengan tatapan penuh selidik.

"Dari panti asuhan, Umi. Adzka tadi muntah-muntah jadi Kira langsung ke sana karena nggak ada siapa-siapa di panti" jelasku.

"Terus gimana? Adzka, Mba bawa ke dokter?" tanya umi lagi.

Aduh, mau jawab apa, ya. Apa harus aku beritahu kalau aku tadi sudah menghubungi Zein. Nanti umi berpikiran yang tidak-tidak lagi.

"Iya, Mi. Kira ... nelpon Zein. Boleh kan, Umi?" jawabku ragu mengingat kami masih proses ta'aruf.

"Ya, boleh. Zein kan seorang dokter dan juga calon suami, Mba Kira" jawab umi tersenyum sambil melirik ku.

"Ah, Umi!! Kenapa melihat Kira seperti itu, sih" Aku jadi salah tingkah sendiri.

"Udah, Mi. Kira mau ke kamar dulu" sambungku tersenyum kemudian berjalan menuju ke kamarku.

Aku menutup rapat pintu kamar dan menguncinya. Biasanya gadis slonong girl itu bakalan nongol tanpa permisi kalau pintu kamar ku tidak tertutup rapat.

Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang, rasanya capek sekali.

“Ya, Allah. Apa aku tadi salah bicara, ya?” tanyaku dalam hati mengingat kejadian di panti asuhan tadi.

Zein sepertinya tersinggung banget dengan kata-kataku. Aku kan tidak bermaksud begitu. Kepalaku mendadak pusing. Sepulang dari panti asuhan kenapa kepalaku rasanya cenat-cenut begini. Apa efek karena aku mengingat kejadian di panti asuhan itu. Tapi yang penting Adzka tidak apa-apa. Waktu ditelpon Aisyah, aku sangat panik karena di panti asuhan sedang tidak ada siapa-siapa. Beberapa pengurus panti asuhan dan anak panti sedang kunjungan wisata.

Ada empat orang anak yang ditugaskan untuk menjaga panti asuhan termasuklah Adzka. Adzka anak yang pandai. Cita-citanya mau menjadi hafidz quran. Itu terbukti hapalannya sudah 10 juz sehingga dia memutuskan tidak ikut karena ingin murojoah hapalannya. Ketika aku dikabari oleh Aisyah bahwa Adzka muntah-muntah, aku langsung teringat dengan Zein. Ya, karena cuma dia dokter yang aku kenal dan bisa aku hubungi langsung.

“Sepertinya dia tersinggung sekali” aku menggigit bibir bawahku. Aku beranjak dari atas ranjang.

“Apa aku coba telpon saja dan meminta maaf lagi, ya”

Aku kemudian berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Tapi aku tidak mau dia salah paham. Kalau begitu telpon saja dia, bisik hatiku.

Aku mengambil ponselku dengan ragu. Ku cari nomor kontaknya di ponsel. Setelah menemukan nya, tanpa sadar aku langsung menekan tombol calling.

Tut ... Tut ... Tut.

Nada tersambung dan belum ada tanda-tanda telponku diangkat olehnya. Aku menghela napas, belum pernah aku merasa bersalah seperti ini. Mana aku tahu dia nggak mau dibayar.

[Assalamualaikum] sapa Zein di seberang sana.

Astarghfirullah. Telponku diangkat olehnya. Kenapa jantungku mendadak berdebar kencang begini. Aku masih terdiam karena kaget. Dengan debaran jantungku yang tidak teratur, aku jadi lupa mau bicara apa.

[Haloo. Kalau masih diam saja, aku akan menutup telponnya]

Suara Zein tiba-tiba mengagetkanku dan menyadarkan ku dari lamunan.

[Wa ... waalaikumsalam] jawabku terbata. [Zein, aku mau minta maaf soal tadi]

[Boleh saja, tapi ada syaratnya]

[Apa!!!] teriakku kaget. Aku tidak percaya mendengarkan ucapannya.

[Hei, nggak usah kaget kayak gitu, dong. Mau nggak?]

Ihh, sebel banget!! Orang mau minta maaf aja pake syarat segala. Gerutuku kesal. Bisa-bisanya dia begitu. Apa kira-kira syaratnya, ya. Mau minta maaf aja susah kayak gini, sih.

[Iya, apa syaratnya?] terpaksa aku melunak.

[Kamu harus mentraktir aku makan di kampus atau di luar kampus?]

Dia membuat pilihan dan itu membuat mataku melotot geram. Aku akan makan berdua saja dengannya. Oh, My God.

[Nggak ada syarat lain apa. Kamu ini nyebelin banget, tahu nggak] gerutuku kesal.

[Kalau nggak mau, ya udah. Aku tutup telponnya] ancam Zein.

[Eh ... eh, tunggu. Oke ... oke. Aku traktir di luar kampus saja]

Aku mengalah saja, deh. Aku mau urusan dengannya cepat selesai.

[Sore ini, ya. Ba’da ashar di City Mall. Aku tunggu di sana. Deal?]

[Deal. Assalamualaikum]

Aku menutup panggilan telponku. Aku malas berdebat dengannya. Benar-benar menyebalkan.

***

ZEIN POV

Sepulang dari panti, aku menuju ke klinik tempatku biasa praktek. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Dan aku kaget melihat nama yang tertera di layar ponselku, ‘Bidadariku’.

"Tumben. Dia mau menelpon duluan" gumamku tersenyum bahagia. Segera ku geser gagang telepon berwarna hijau di layar ponsel.

[Assalamualaikum] sapaku.

Kenapa hening di seberang sana, tidak ada suara? Aku mengeryitkan dahi. Kenapa diam saja nih anak?. Apa dia salah pencet nomor kontak atau bagaimana?.

[Haloo. Kalau kamu masih diam saja, aku tutup telponnya, ya] tegasku karena aku tahu dia masih mendengarkan suaraku di sana.

[Wa ... waalaikumsalam]

Aku mendengar suaranya terbata. Lucu sekali kamu, Kira. Bisa gugup juga nih anak.

[Zein, aku mau minta maaf soal tadi] katanya.

Hm, ini kesempatanku untuk bisa berdua dengannya. Keberuntungan sepertinya sedang bersamaku. Kalau tidak begini, mana bisa bertemu dan berbicara langsung dengannya.

[Boleh saja, tapi ada syaratnya] kataku santai.

[Apa!!!] teriaknya kaget.

Aku menahan tawa ketika mendengarkan suara teriakannya. Segitu kagetnya dimintai syarat oleh ku.

[Hei, nggak usah kaget kayak gitu, dong. Mau nggak?] tantangku.

[Iya, apa syaratnya?] katanya mulai melunak.

[Kamu harus mentraktir aku makan di kampus atau di luar kampus] ujarku membuat pilihan.

[Nggak ada syarat lain apa. Kamu ini nyebelin banget, tahu nggak?] gerutunya.

Aku tersenyum geli mendengarnya.

[Kalau nggak mau, ya udah. Aku tutup telponnya] ancamku.

[Eh ... eh, tunggu. Oke ... oke. Aku traktir di luar kampus saja] katanya mengalah.

Bisa juga dia mengalah dan mau menerima syarat dariku demi mengejar kata maaf.

[Sore ini, ya. Ba’da ashar di City Mall. Aku tunggu di sana. Deal?]

[Deal. Assalamualaikum] tutupnya.

Ternyata di balik sikap ketusnya, Kira orangnya sensitif juga. Sampai mau mengejar maaf dariku. Dia tahu kalau aku tersinggung dengan kata-katanya di panti asuhan tadi. Sikapmu sungguh penuh kejutan, Kira.

Aku tidak sabar ingin melihat seperti apa ekspresinya ketika berjalan berdua saja dengan ku. Apa dia masih galak dengan calon suaminya ini yang belum tahu kabar apakah berlanjut atau tidak proses ta'aruf kami. Aku sedang menunggu keputusan darinya yang meminta waktu untuk istiqoroh dulu.

Cinta Sang Dosen √ (Complete)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang