Part 21 CSD: Penantian

20.7K 1K 4
                                    

Enam bulan pernikahan kami. Aku tidak memperdulikan lagi soal kehamilan. Aku hanya pasrah. Kak Zein sudah mengajakku untuk periksa, hasilnya kami berdua tidak ada masalah. Artinya Allah belum mempercayai kami untuk memiliki buah hati.

Setelah menikah, haidku tidak lancar. Sebulan setelah nikah sempat terlambat datang bulan, eh setelah dicek ternyata negatif. Jadi sekarang aku tak ambil pusing lagi jika terlambat datang bulan, sudah biasa ga lama pasti haid lagi bikin kecewa aja kalau di tes pack.

Pesan dokter aku terlalu stres. Mungkin karena perasaanku yang tidak ingin suamiku kecewa karena dia ditanya keluarga dan temannya soal anak. Aku ikut kepikiran. Padahal kak Zein santai aja.

"Win, kalau mau beli buah cermai dimana ya...kok aku pingin makan manisan cermai ya?" tanyaku sama Winni.

Dia menoleh melihatku "Kamu, hamil ya?" selidiknya dengan menyipitkan matanya.

Aku tertawa...sebelum-sebelumnya aku juga pingin ini pingin itu tapi ngga lagi hamil kok.

"Belum Win...tapi pingin aja, udah lama ngga makan manisan cermai"

"Biasanya mau lebaran nanti baru bermunculan semua jenis manisan" ucap Winni.

"Huaa...kelamaan win" teriakku.

Ku lihat mobil Kak Zein sudah menunggu di depan kampusku.

"Aku duluan ya Win" pamitku melambaikan tangan pamitan dengan Winni lalu menuju ke mobil Kak Zein.

Selama perjalanan menuju pulang. Di mobil tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Kenapa badanku merasa tidak enak begini ? Aku hanya diam tidak ingin membuat kak Zein khawatir. Mulutku juga terasa tidak enak.

'Makan yang asem-asem enak ini bisa seger' batinku dengan mata melirik ke kanan dan kiri jalan.

"Kak...kak...stop" teriakku.

Ciiiiit!!!

Zein langsung menghentikan mobilnya dengan mendadak, badanku hampir saja menabrak dashboard untungnya aku memakai safety belt.

"Astaghfirullah dek, kalau mau minta berhenti itu bilang sebelumnya jangan dadakan begini. Bahaya tau ngga!!" gerutunya.

Aku jadi merasa bersalah, untung ngga ada mobil di belakang kami.

"Maaf" ucapku penuh dengan rasa bersalah.

"Lain kali jangan lakukan kayak tadi. Ngerti!" bentaknya marah.

Tiba-tiba air mataku menggenang mendengar ucapan Kak Zein yang agak keras. Aku menangis, entah kenapa hatiku hari ini sensitif sekali. Padahal memang salahku kami berdua bisa celaka.

"Maafin Kakak, kakak ngga bermaksud membentakmu" katanya mengelus pundakku. Kak Zein tampak menyesal melihatku menangis sesegukan.

"Kenapa adek tiba-tiba minta berhenti?" Tanyanya dengan suara lembut.

"Aku lihat tadi ada tukang rujak kak dan pingin beli" kataku pelan sambil menghapus air mataku.

"Ya Allah dek, kan bisa bilang sebelumnya...Kak kalau ada tukang rujak kita beli ya... Jadi kakak bisa berhenti kalau udah lihat dari jauh. Ngga dadakan kayak tadi, bukan kita aja yang celaka dek, orang lain juga bisa celaka" omel Kak Zein. Aku hanya nyengir kuda lalu mengangguk.

"Iya kak. Mana tukang rujaknya" aku celingak-celinguk setelah kak Zein menepikan mobilnya.

"Itu di bawah pohon" tunjuk Kak Zein.

"Aku turun dulu ya kak" Kak Zein geleng-geleng kepala melihatku. Tak lama aku kembali ke mobil.

"Banyak banget dek" seru kak Zein kaget melihat ku menenteng dua plastik berisi rujak beserta bumbunya.

Sambil di jalan aku tak berhenti memakan rujak yang sudahku beli, sesekali aku menyuapi Kak Zein.

"Ihh Asem banget dek kedondongnya" kak Zein menyeringai kemaseman.

Aku santai aja memakannya, ngga ada rasa asem-asem sama sekali.

"Apaan sih kak, manis kayak gini" ujarku melahap lagi kedondong dengan bumbunya. Kak Zein melototkan matanya tak percaya.

"Masya allah dek, itu kedondong masem kok dibilang manis. Lidah adek lagi ada masalah kayaknya" insting dokternya muncul.

Ah...bodo amat. Aku tetap melanjutkan makan rujak yang sudah ku beli tadi tanpa menawari Kak Zein lagi.

Continue

Cinta Sang Dosen √ (Complete)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang