Pukul dua pagi, kesembilan gadis itu masih berada di pub yang mereka datangi semalam. Berada si tempat VIP yang biasa mereka pakai jika berkunjung. Para pelanggan semakin bertambah dengan berjalan nya waktu. Biasa nya orang-orang itu akan pergi secara bersamaan saat jam lima pagi untuk kembali ke tempat juga pekerjaan mereka.
Sejak berkumpul dari kejadian semalam, tidak ada yang memulai pembicaraan. Hanya helaan nafas berat juga kasar yang mereka keluarkan, raut wajah yang terlihat gelisah sekaligus marah tidak luput mereka keluarkan.
Tidak ada mata mengantuk atau tubuh lelah, hati dan otak mereka kosong seakan tidak bisa merasakan apapun. Hambar.
Enam buah botol wine tergeletak kosong di meja juga tiga buah gelas berisi air putih yang tandas. Ponsel, tas juga jaket ikut tersebar di meja itu. Suara musik yang menggema terdengar samar dari tempat mereka.
"Hei, ayo pulang. Kalian nggak bisa gini terus." Tegur Jihyo yang datang lagi setelah lima kali di abaikan.
Gira dan Lalisa melirik Jihyo sementara yang lain mengabaikan gadis itu.
Jihyo berdecak. "Jangan nyiksa gini. Buktiin kalau mereka beneran bukan apa-apa di hidup kalian."
Tidak ada jawaban juga. Jihyo benci di abaikan. "Fine. Terserah, but janji sama gue. Pulang ke rumah, jangan ngelakuin hal aneh. Apalagi pagi ini Dyya sama Soya harus ke rs. Gue balik duluan."
Lalisa mengangguk membalas, setelah melihat itu ia langsung pergi menuruni tangga untuk ke pintu utama.
Drtt drrtt
Sembilan ponsel itu bergetar secara bersamaan, blackvelvet melirik sejenak lalu menghela nafas.
Yerim memilih mengangkat ponsel nya, seketika panggilan yang lain di putus meninggalkan missed call di layar utama.
"Hallo."
"Belum pulang juga?"
Yerim menghela nafas. "Belum, kak."
"Oke bagus, langsung ke rumah sakit."
"Sekarang?"
"Iya."
"Buat apa?" Yerim menyerit. "Kan masih lama waktu nya."
"Entah kakak harus seneng atau kesel sama keadaan ini, tapi kakak bersyukur kalian nggak ada di runah malam tadi."
"Ada apa sih, kak? Jangan basa-basi gini." Ujar Yerim kesal.
"Semalem ada penyerangan ke rumah, beruntung pengawalan nya tahan dan sigap. Nggak ada yang hilang atau apa pun di rumah, cuman beberapa penjaga luka serius dan juga kakek—"
"Gimana kakek, kak?" Tanya Yerim gelisah.
"Gak papa. Kayak yang nggak tau gimana kakek aja."
Helaan nafas kelegaan Yerim hembuskan, "Syukur kalau gitu."
"Cepet ke rs."
"Iya, kak Eric iya. Bawel."
Tut
Yerim mematikan panggilan nya, kedelapan kakak nya sudah memasang ekspresi penasaran sedari tadi.
"Apa?"
"Cus ke rs." Yerim berdiri.
Joya mendongak. "Ngapain?"
.
.
.
.
.
"Kakek harus balik ke Kanada siang ini."