Sebenarnya...

106 4 0
                                    

Sebenarnya...

Lelaki itu dipanggil ayah. Namun, kulebih suka memanggil haya. Bukan karena kutak bisa membaca, kurang kemampuan dalam lingustik atau tidak bisa berbahasa Indonesia yang benar. Aku, Bunga tak dapat menemukan esensi ayah dalam hidupku ini. Siapa? Bagaimana? Di mana? atau pertanyaan 5W+1H lainya. Kalau disuruh bertanya kepada orang lain. Malas. Aku tipekal orang yang tidak mudah percaya dengan omongan orang, apalagi yang menurutku kredibilitasnya masih diragukan. Kau ingat mengenai petanda dan penanda dalam ilmu linguistik Saussure? Semuanya hanya wacana jika menurut filsuf Perancis Michael Foucault. 

Aku sebenarnya benci dengan kata "sebenarnya", kata yang mengisyaratkan sebuah kebenaran yang diseret keluar pintu kebohongan. Kebohongan yang selama ini ditutupi di pohon ini. Pantas, kubenci pohon ini sampai kapan pun.

Bunga. Ya, namaku Bunga. Asal kau tahu aku tak suka menjadi bunga atau makna asosiasif yang ada di kepala orang Indonesia. Mereka katakan bahwa makna kata bunga selalu posistif. Namun, hidupku tidak sebanding dengan makna dengan diungkapkan oleh orang-orang. Mungkin ini adalah harapan kedua orang tuaku. Orang tua yang mana? Ibu atau ayah? Kalau membicarakan Ibu, aku dapat mengartikan atau memaknakannya dengan makna yang tidak terbatas. Namun, jika ayah? apakah makna itu? aku belum menemukan esensi maknanya hingga saat ini. Lelaki itu bernama ayah. Kumasih mencari esensi kata tersebut.

Malam itu, ketika semua orang tertidur pulas di rumah masing-masing. Aku? Seperti yang kukatakan tadi bahwa aku takkan pernah betah di pohon ini. Malam ini, besok pagi, siang, sore atau kapan pun. Hanya ada satu cara untuk kubebas menghirup udara, memiliki kartu keluarga baru dengan keluarga baru. Entahlah, kapan. 

Malam ini, aku sebagai anak seorang yang biasa saja dengan penghasilan yang bisa. Ibuku yang bekerja, ayahku? Hanya pesakitan di rumah dan alasan tersebut membuatnya untuk bertahan dan menangkis keluh kesah aku dan ibuku ketika meminta kewajibannya kepada kami. Halah, aku bosan sehingga kukadang malas untuk meminta seperti anak lainnya. Namun, malam ini aku meminta untuk bisa dibiayai untuk berpendidikan. Kata rapor akademikku sejak kecil, sebenarnya, kupantas untuk mendapatkan cita-cita yang tinggi. Namun, aku hanya bunga dengan dedaunan yang harus pasrah oleh tiupan angin yang membawaku jatuh ke tanah. Bahkan, tanah yang sebenarnya kurajut sejak kecil. Semuanya sirna. Yang ada di otakku saat itu adalah konsep semua orang harus berpendidikan agar tak menjadi pesakitan seperti ayahku. Orang lain takkan mau mendengar keluh kesahku apapun alasannya. Mereka hanya menerima saat kuberada di atas. Adil? tentu tidak. Tapi inilah hidup.

Jurusan ini memang bukan jurusan yang kuinginkan. Kulihat teman-temanku yang bulat dan tekat niatnya untuk mendapatkan jurusan yang "prestige". Aku paham, di Indonesia, uang segalanya. Orang sebodoh "kerbau" pun bisa masuk jurusan apapun jika punya uang, sedangkan yang pintar selangit pun harus menutup jauh-jauh pintu harapannya. Itulah alasanku tak mengambil jurusan yang bisa membunuh orang tuaku dengan melihat nominalnya. Oh ya, ada beasiswa pemerintah melalui sekolah yang nantinya mendaftarkan siswa. Namun, saat itu, aku tidak memerlukan bantuan. Kondisi keluargaku berada. Sangat berada. Namun, roda terasa berputar begitu cepat. Entahlah. "Ini adalah dunia", kata orang-orang. Untuk tetap bersekolah, kumengalah dan memilih jurusan yang dapat kubiayai jika aku kuliah nanti sambil bekerja. Namun, tetap saja. Nominalnya masih membuat melotot kedua orang tuaku yang takkan kumengerti mengapa dunia terlalu kejam kepada keluarga kami.

Sudah beberapa hari, minggu, dan ini adalah minggu terakhir untuk pendaftaran ulang sebagai mahasiswa perguruan tinggi negeri. Sebelumnya, orang tuaku mengatakan bahwa mereka akan mencari biaya untuk perkulihanku. Namun, sudah lama sekali kutak mendengar kelanjutannya. Hatiku berdebar tak menentu sebenarnya ketika aku meminta dan menuntut hakku sebagai anak. "Apa salahnya? Toh ini kewajiban orang tua", lirihku dalam hati.

Aku meminta dan menuntut.

"Ibu, Bunga mau kuliah", kataku lirih di ruang tamu keluarga sambil menahan air mata.

L.E.L.A.K.ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang