T.O.L.O.L

20 0 0
                                    

Aku benci menjadi tolol dan bego atas nama cinta. Perbuatan menjajah dan hanya membuat menangis. Kamu kira kamu siapa, huh? Bagaikan pejabat negara atau panglima perang yang tak sanggup untuk membalas kata yang sudah lama terkirim? Kamu kira kamu orang penting yang sangat dibutuhkan?

Aku benci menunggu. Menjadi perempuan, harus menunggu sesuatu yang tak jelas, membuat kesal, dan ujung-ujungnya patah hati. Cinta yang mengaburkan dan memblurkan segala asaku. Menurutku, cinta bisa membuatnya lebih koheren, tetapi tidak. Tolol karena cinta adalah kejadian yang paling tak kusukai hingga saat ini. 

Lelaki yang sebenarnya tidak pantas mendapatkan perasaanku. Bagai membeli kucing dalam lemari, semuanya berbeda ketika awal kubertemu dengannya. Sok manis dengan segala upaya. Namun, hah! kedok! Sial! aku tertipu!

Dia pikir dia adalah laki-laki yang kuidamkan dan kuberharap banyak darinya. Entah otaknya berisi apa, mungkin tahi-tahi seperti yang ada di kepala udang? Atau entahlah. Sebenarnya, ingin aku berkata sekasar-kasarnya di wajahnya dengan menempar salah satu sisinya. Namun, itu tak dapat kulakukan. Aku benci situasi seperti ini. 

Kata stereotipe, perempuan itu menggunakan perasaan dan irrasional. Sepertinya begitu. Ketololoan ini semakin lama semakin menyebar dan tak sanggup aku menahannya. Doktrin apa yang ada di otak ini sehingga tak ingin berpisah dari orang tolol dan tak berguna seperti itu? Tak habis pikir, dia telah menyita semua kesempatan dan perhatianku. 

Dia pikir aku adalah perempuan yang tidak berguna dan hanya menyulitkan saja. Jika dia terlahir kembali, dia takkan mau mengenalku. Aku pun tak sudi sedikit pun mengenal namanya yang pasaran itu. Cih!

Dia pikir aku adalah sosok manja yang selalu ingin diantar ke sana ke mari dengan kendaraannya. Dia pikir aku adalah sosok matrealistik yang menginginkan banyak hal yang seharusnya yang tidak diinginkan. Sialan! 

Jaga mulut dan tindakan tak beradabmu itu, nama pasaran!!!

Semakin lama, bukan semakin yakin dengan pilihan untuk hidup bersama, apalagi dengan polah laku yang ingin menyalakan api di kepalaku selalu membara. Sialan! Laki-laki tak tahu diri! Bukankah begitu?

Dia kira dia dengan keluarganya yang katanya beradab dan berbanding dengan aku dan keluargaku yang katanya terlalu bebas dan tak tahu aturan. Bukankah itu sama saja dia telah mengejak orang tua, khususnya Ibuku yang telah melahirkan dan membesarkanku hingga tulisan ini kuketik?

Awalnya hanya simpel. Berawal dari pesan dan telepon di media sosial yang tak dibalas. Sial. Aku menunggu. Seperti biasa, percaya dengan mulut busuk yang ditawarkan pada hari ini dengan hanya bertemu. Sialan. Aku ini berpendidikan dan setidaknya aku tak suka dibohongi seperti anak kecil yang jika dikasih permen lolipop akan diam. 

Dia merasa di atas sekarang dengan deposito yang dia anggap besar dan berada di atasku. Sialan. Hierarki materi apa ini! Dia kira aku hanya pengemis jalanan yang tidak perlu direspons. Dia biarkan pesan itu seperti itu. Tak ada balasan. Tak ada gubrisan. 

Dengan kesal karena telah diberi janji yang terlontar dari mulut busuk itu, kuhubungi dia. Bukannya meminta maaf, malah dia lebih galak seperti orang yang ditagih utangnya. Memamg, kata teman-temanku, buat apa mempertahankan laki-laki yang tidak berattitude seperti dia. Toh masih banyak laki-laki di luar sana yang menungguku. Namun, entahlah, ada bagian di dalam hati entah dari sudut mana yang membuat aku untuk terus kembali kepada kebodohan ini. Sial! Dunia yang menyesatkan!

Aku benci laki-laki sialan ini! Sok tampan! Sok berkelas! Cih! benciku sampai ke ubun-ubun. Lalu, ketika ada diksi yang sudah mulai mencuat untuk memicu emosinya, dia akan lebih keras dari yang kulakukan. Sialan! banci!

Dia bukan anak kecil yang tidak mengerti resiko dari sebuah ucapan, bukan juga anak remaja yang bisa memberikan janji palsu, atau anak SMA yang terombang-ambing dengan berbagai hal. Dia orang dewasa dengan tingkat pendidikan yang dapat dikatakan tinggi. Namun, tingkah lakunya berada di bawah tingkatan yang kusebutkan sebelumnya. 

Lalu, dia dengan mudah untuk mengatakan bahwa ya sudah. Mari kita akhiri kisah kita. Ringan sekali mulutmu, Tolol! Kamu kira merajut kisah hampir 3 tahun lebih ini mudah? Banyak yang kulewatkan untuk pemuda tolol seperti kamu! Dan sekarang kamu mengatakan itu dengan ringan. Memang otak batu!


Aku benci menangis karena kebodohan ini. Aku benci untuk segalanya terhadap cinta yang tolol dan menyesatkan ini. Aku seakan lupa siapa diriku dulu dan berbagai mimpi yang seharusnya kufokuskan. Aku hanya berinvestasi pada lelaki penuh ketidakpastian. Sial. Ternyata aku tak sekuat seperti tes kepribadiaan!


L.E.L.A.K.ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang