Cerita Sunyi

17 0 0
                                    


"Hari ini, aku harus potong rambut. Kalau dalam tradisi Minang, ada yang namanya ba..., ritual bersih-bersih sebelum puasa."
"..." 

"Kamu kok diam sih? Kamu dengerin aku tak?", mematikan laptop dan bergegas ingin pulang. 

Jika aku boleh melarangmu untuk pulang, itu akan kulakukan, Kumbang. Namun, aku takkan bisa. Kau bukan milikku. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? Berpura-pura mendengarkan sesuatu yang tak ingin aku dengar. 

"Potong rambutnya sekarang biar nanti kalau aku pulang ke kampung, aku jadi ganteng. Rambutnya sudah agak panjang. Kesan pertama itu penting", sambil merapihkan rambutnya. 

Apa yang harus kuungkapkan bahwa aku sendirian, Kumbang. Kau begitu bersemangat untuk bertemu orang tua, adik, atau keluargamu, sedangkan aku? Kucoba untuk menahan untuk tak menangis. Aku hanya bisa diam saat ini, tanpa sepatah kata dan bayangan kosong ke depan. Aku benci situasi seperti ini. Berusaha menolak lupa masa lalu yang begitu menyakitkan. Berusaha untuk menjadi tegar. Ternyata kutak bisa melupa...

Kupilih untuk menyandarkan diriku di sudut ruangan. Menyandarkan kepada untuk berpikir apa yang harus kulakukan hari ini, apa yang harus kukerjaakan agar kumelupa besok adalah Ramadhan dan aku sendirian. Begitu menyakitkan. 

Sebenarnya, aku ingin pulang seperti orang lain yang berkumpul dengan orang tua atau sanak saudara. Namun, aku tak punya siapa pun. Aku merindu kepada ibuku. 

Kemarin, ibuku telepon dan sudah berbelanja dan masak berbagai menu kesukaanku. Lalu, ditanyanya, "Kapan kamu pulang?"

Bukannya aku tak mau pulang, tetapi terlalu sakit untuk kembali ke tempat yang sama dengan kenangan mermori memilukan. Berusaha untuk diajak kembali ke kenangan yang berusaha kulupakan. Terlalu egoiskah diriku jika aku menolak untuk ikut? Lalu, ibuku menunggu sendirian. Sama halnya seperti diriku. 

Awalnya, kuingin menjalani hari bersama Kumbang. Namun, kami belum memiliki ikatan apapun. Memang salah, tetapi perasaanku yang mengundang semua harap bualan ini. 

Kutetap diam di sudut ruang. Lalu, Kumbang menghampiriku dan pamit mau pulang. 

"Bisakah kau menemaniku pagi ini dan esok, Kumbang? Aku takut sendirian. Aku tak suka kondisi seperti ini. Bersuara bersama sunyi dan malam. Aku tak suka, Kumbang." Kucoba untuk berbicara, tetapi bibirku kelu. Aku yakin terlalu emosional akan menciptakan rintik air mata yang tak kuinginkan. Aku tak ingin terlihat lemah di mata Kumbang. Aku tak mau ia menghawatirkanku atau merasa bangga karena aku membutuhkannya. 

"Bunga, tolong antarkan aku keluar."
"Kamu bisa pulang sendiri, Kumbang. Kamu bisa terbang dengan sayapmu."

Kumbang bersiap, ia ambil tas, sendal, helm, dan jaketnya. Ketika ia pegang gagang pintu, ia menoleh ke belakangku yang masih fokus meratapi kesedihanku. Ia melepaskan dan menaruh helm, sendal, dan jaketnya. Ia menghampiriku. 

"Kamu kenapa?"
"Tak apa"
"Namun, mengapa kau menangis?
"Aku mengantuk, Kumbang"

Kumbang segera memeluk tubuhku. Aku tak paham akan semua hal ini. Pelukan ini hanya mengundang rasa emosional yang kuat. Hanya membuat air mataku ingin menetes deras. Aku benci situasi ini. 

"Aku hanya ingin bersamamu, Kumbang. Namun, kau saat ini milik orang tuamu. Bukan aku. Aku ingin bersamamu saja untuk melupakan masa lalu kelam yang kumiliki. Apakah aku pantas melarangmu untuk pulang? Kau tahu bahwa aku membenci kesepian dan kesendirian."

Aku berusaha melepaskan pelukan Kumbang dari dirku dan segera berpura-pura tegar menghadapi semuanya. Aku benci bersandiwara. 

"Apa yang kau pikirkan?"
"Entahlah, aku ingin pulang dan makan ayam. Kucoba untuk membuka gawai dan mencari jadwal kembali ke kotaku. "
"Jangan, janganlah pulang. Kau mengatakan bahwa di rumahmu akan menyusahkan mengenai jaringan. Sudahlah, kau di sini saja bersamaku."

L.E.L.A.K.ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang