Haya !

14 0 0
                                    


Aku panggil Haya. Entah Haya mana yang kuinginkan dan kumau. Aku tak memahami konsep haya, ayah, atau apapun itu. Terlalu menyiksa diri. Aku ingin sekali sebenarnya kembali ke masa ketika aku tak tahu siapa hayaku. Aku lebih memilih menjadi anak kecil yang tidak mengetahui kejamnya dunia. 

Simpel. Suatu sore di kala bulan puasa. Janji untuk selalu membelikan pempek kapal selam di Bandar Jaya (sebuah nama pasar di daerah Lampung). Aku suka pempek itu. Diisi telur dan juga ada yang isinya kates atau pepaya yang diparut. Digoreng dan dimakan bersama cuka yang segar. Mantapnya. Tak lupa juga membeli es campur kesukaanku dekat mesjid. Ini adalah warung es yang takkan pernah kulupakan sepanjang masa. 

Ia selalu menjanjikan hal tersebut. Mungkin karena itu adalah kesukaannya sehingga ia ingin menularkannya kepadaku. Alhasil, itu berhasil. Aku selalu mencari kedua makanan itu dan selalu merengek ketika bulan puasa. 

Dari kecil, aku tak paham apa itu haya. Namun, ketika kelas 4 SD di semester awal, Ibu dan aku pindah ke Lampung, kota kecil ini untuk pindah bersama haya. Entahlah. Aku tahu ada sesuatu yang mengganjal, tetapi aku selalu pura-pura semuanya baik-baik saja. Bersikap seperti anak kecil pada umumnya yang hanya tahu untuk makan, main, dan sekolah. Titik!

Bulan puasa tahun ini seperti tahun lalu. Ia selalu mengajakku untuk pergi membeli kedua makan itu dan aku pun menyukainya. Aku menyukainya. Entah karena aku menyukai naik motor dengan harus memegang erat pinggangnya yang gendut atau aku menyukai melihat mobil-mobil truk dengan angin yang menerjang di jalanan raya lintas Sumatera atau aku menyukai makananya atau hal lainnya? Entahlah. 

"Kau harus mandi dulu baru kita pergi"
"Baiklah"

Segera kuambil handuk dan mandi di kamar mandi kecil kami. Biasanya, sebelum mandi, aku menyukai berendam di kolam penampungan air bersih di belakang rumah. Aku menyukainya. Entahlah.

Aku segera menyelesaikan mandi, berpakaian rapih, dan menyisir rambutku. Tak lupa mencari sendal pink kesukaanku. Segara ia langsung mengajakku pergi dengan helm kecil favoritku. Di sepanjang perjalanan, kami bertemu dengan temannya. Terpaksa, kami harus berhenti dan sembari mengobrol sebentar. 

Aku ingat motor ini motor yang sangat fenomenal. Dengan pembayaran kredit menjadi kebanggaan keluarga. Kami bangga dengan memiliki motor supra biru putih ini. 

Selanjutnya, di perjalanan, aku hanya bertanya segala hal yang ingin kutanya. Kuharap ia dapat menjawab berbagai pertanyaan yang menghantuiku. Kadang, ia hanya menjawab seadanya bahkan tidak masuk akal. Entahlah. Aku bingung. Namun, aku kesal. 

Jiwa kritisku selalu muncul. 

"Mengapa dan mengapa jawabannya seperti itu atau bahkan masa seperti itu saja tidak tahu"

Orang dewasa mestinya harus tahu apa yang kutanyakan sebagai bocah SD. Namun, yasudahlah. Pikiran kritis itu pudar dengan suara klakson bus tronton yang lewat dengan kibasan atau hempasan angin yang dibuatnya dari arah belakang kami untuk mendahului kami. 

Pasar sudah ramai dipenuhi oleh orang-orang yang ingin membeli takjil. Wajarlah, pasar ini dekat sekali dengan mesjid besar yang ada di daerahku. Aku sangat menyukainya.

Kerumunan makanan dan orang di mesjid raya ini membuatku semakin semangat untuk membeli dan mempersiapkan takjil terbaik dalam hidupku. Aku senang dan andrenalinku naik tertiba. 

Ia menanyakan berbagai hal makanan yang mungkin aku inginkan.

"De, mau gorengan?"
"Mau lontong?"
"Mau sarikaya?"
"Mau apa lagi selain pempek dan es campur?"
"Sudah itu saja. Aku tidak terlalu suka yang lain. Mungkin nanti setelah buka puasa, perutku akan terasa sangat penuh."

Ia berhenti di salah satu pedagang gorengan dan lontong. Aku tahu bahwa ia sangat menyukai lontong. Aku paham itu. Bersama gorengan dan bumbu kacang. Kadang, aku pun menyukainya, tetapi tidak begitu. 

Ia pun tak cukup sebentar untuk menanyakan makanan yang kuinginkan lagi. Ia bertanya dan bertanya. 

L.E.L.A.K.ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang