Aku menutup keran wastafel dan menatap bayanganku di cermin kamar mandi. Beberapa guliran air masih terlihat mengalir pelan di pipi. Kelopak mataku terasa berat seakan berteriak menyuruh kakiku untuk segera melangkah ke tempat tidur. Namun, seberapa lelah rasanya seluruh tubuhku malam ini, aku tidak bisa membiarkan diriku langsung menutup hari dengan melompat ke atas kasur.
Waktu yang tersisa antara setelah pulang kerja dan sebelum tidur adalah satu-satunya waktu yang aku punya untuk mengurus hidupku sendiri setelah lebih dari 12 jam berkutat dengan kehidupan lima manusia. Walau hanya tersisa satu jam atau dua jam seharusnya cukup untuk aku mencari inspirasi dalam mengarang motivation letter beasiswa yang aku tuju. Untunglah besok jadwal mereka dimulai siang hari jadi aku tidak perlu berlomba dengan ayam untuk cepat-cepatan bangun.
Aku melangkah keluar kamar mandi, duduk manis di depan coffee table yang sudah berubah fungsi menjadi meja belajar dibandingkan tempat untuk menyuguhkan kopi dan bercengkrama dengan manusia lainnya. Laptop putihku terbuka lebar menampilkan foto-foto keluarga, teman-teman kuliah, dan foto bersama Eunoia bergantian sebagai screensaver. Aku menggerakan touchpad untuk menyudahi screensaver dan beralih memandangi barisan kata di Microsoft Word yang aku buka sejak setengah jam lalu. Kalimat yang tertulis masih sama persis seperti minggu lalu dan minggu-minggu sebelumnya. Satu pargaraf dan berhenti di situ saja.
Aku menarik napas dalam-dalam memandangi motivation letter-ku yang terpampang jelas di depan mata seperti ingin meledek aku dan otakku yang buntu dari kemarin. Ternyata setelah mandi pun, ide cemerlang tetap tidak datang. Laptop yang aku diamkan satu menit kembali menampilkan screensaver koleksi foto-foto di galeri. Aku menekan tombol shut down dan menutup layar laptop dengan sedikit keras. Lagi-lagi, hari di mana aku tidak bisa berpikir. Lagi-lagi, aku semakin tertarik jauh dari cita-citaku meraih master degree di luar negeri.
Aku kesal tapi tidak tahu kesal karena apa. Rasanya ingin marah dan menyalahkan seseorang atas motivation letter yang belum selesai selama berbulan-bulan tapi tidak tahu harus menyalahkan siapa. Aku melempar tubuhku ke atas kasur dan menarik selimut. Daripada stress lebih baik aku akhiri saja hari ini dengan tidur lebih awal. Tanganku meraih telepon genggam yang tergeletak di nakas. Kebiasaan manusia jaman sekarang, apalagi kalau bukan mengecek telepon genggam sebelum tidur dan saat bangun tidur.
Jariku bergerak menekan aplikasi Whatsapp dan melihat nama-nama yang mengirimkan pesan yang belum aku baca.
"Bara, Sara, Sakti, Jivan, Mama." Aku bergumam pelan membaca nama pengirim pesan di Whatsapp dan membuka kolom pesan satu persatu.
Mama
Ri, sudah di apartemen?
Jangan lupa makan. Hati-hati
Aku
Sudah, oke Ma
Sebuah pesan singkat dengan kata-kata yang sama persis setiap harinya dari Mama. Aku bahkan sudah hapal jam berapa saja Mama akan mengirim pesan di WhatsApp memastikan apakah aku sudah sampai apartemen dengan selamat.
Eunoia Jivan
I'm homeee
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [Completed]
Fanfiction[On-going revision] Irina Mahika adalah seorang karyawan biasa yang mulanya bekerja sebagai Personal Assistant pendiri salah satu agensi ternama. Namun, kepergian Pak Rasjid yang mendadak empat tahun lalu membuat Irina nyaris kehilangan pekerjaannya...