Semilir angin bercampur serpihan air dari kipas angin besar Dufan yang berada beberapa meter di depanku menyapu keringat yang membanjiri dahiku. Aku duduk di bangku samping pagar wahana Tornado dengan wajah yang sengaja aku hadapkan ke kipas besar. Matthew yang ternyata takut dengan ketinggian, menolak mentah-mentah ajakan Sammy untuk menaiki Tornado dan memilih untuk menemaniku duduk menyejukkan diri.
Aku melepas topi baseball hitam yang awalnya aku pakai untuk menangkal paparan sinar matahari dan memberikannya ke Matthew. Ia terlihat kelelahan karena panasnya Jakarta di siang bolong. Jemariku menyeka poni yang sudah basah di dahiku dan mengikatnya ke belakang. Kaos yang basah dengan keringat, wajah yang berminyak dan rambut yang aku gelung ke atas dengan berantakan membuatku terlihat seperti seseorang yang baru melakukan marathon 10 km. Sudahlah, aku sudah tidak peduli lagi dengan penampilanku. Toh tidak ada yang ingin aku tarik perhatiannya juga di sini.
"Gua masih ngga ngerti kenapa ada orang yang mau naik mainan kaya gitu," tukas Matthew. Ia meringis ketakutan saat matanya menatap ke arah wahana Tornado yang sedang memutar 360 derajat.
Aku menengadahkan wajahku mengikuti arah tatapan Matthew. "Ngga tau deh. Padahal banyak cara lain untuk mati, ya ngga sih?"
"Hahahaha. Now, that's scary."
"Banyak cara untuk menderita selain diputer 360 derajat di atas kaya gitu. Cinta bertepuk sebelah tangan aja rasanya udah kayak disiksa, ngapain juga masih nyari siksaan walaupun cuma lima menit?"
"Boleh juga teori lu." Sebuah senyum terpampang di wajah Matthew. "Anyway, how's Jivan here? I mean his life, his career, his love life. Gua liat banyak juga fans dia di sini."
Aku terdiam beberapa saat mencoba mengingat keadaan Jivan akhir-akhir ini. "Hmmm, he's doing good. Hidupnya yang gue liat baik-baik aja sih. Karirnya semakin bagus asal dia masih ada motivasi aja. Kalo love life ngga tau ya, dia jarang cerita soal itu sih. Kenapa emangnya?" Aku balik bertanya ke Matthew.
"Nothing. It's just it makes me happy seeing him looks a lot happier here. Udah empat tahun kita ngga ketemu, but look at him now, he looks like a different person. In a good way," ucap Matthew menekankan kalimat terakhirnya saat ia menangkap ekspresi bingung di wajahku. "Awalnya gua kaget dia nekat balik ke Indo cuma buat ikut audisi penyanyi. I mean, he could've just live a spoiled life in LA or New York, tapi dia tiba-tiba minggat ke Indo, sendirian, built his new life from zero, well, he basically has some relatives in Indo as well but, the thing is, somehow his reckless action led him to where he wanted to be. I can say that he's living his dream now."
Penjelasan panjang Matthew membuat ingatanku melayang kembali ke empat tahun lalu saat aku pertama kali dipertemukan dengan Jivan. Pak Radit dan Mas Andrei memperkenalkanku sebagai Manager Eunoia di ruang meeting pagi itu. Aku tersenyum canggung saat enam pasang mata menatapku lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mata mereka tidak berhenti berkedip, membuatku semakin salah tingkah. Otakku berusaha mengingat nama-nama laki-laki muda di hadapanku ini dengan cepat saat mereka menjabat tanganku dan menyebutkan nama mereka masing-masing. Semoga aku tidak salah sebut. Semoga mereka tidak menyusahkan hidupku. Semoga mereka semua baik. Aku sibuk berdoa dalam hati. Walaupun aku manager yang ditunjuk dadakan setidaknya aku tidak ingin terlihat bodoh di depan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [Completed]
Fanfiction[On-going revision] Irina Mahika adalah seorang karyawan biasa yang mulanya bekerja sebagai Personal Assistant pendiri salah satu agensi ternama. Namun, kepergian Pak Rasjid yang mendadak empat tahun lalu membuat Irina nyaris kehilangan pekerjaannya...