Chapter V. Whatever

1.7K 246 30
                                    

Sinar matahari menyeruak masuk ke dalam apartemenku yang berukuran studio saat tanganku membuka lebar gorden krem yang menutupi jendela. Aku berjalan ke arah lemari baju dan memandangi refleksi diriku di cermin untuk yang kesekian kalinya. Kaos hitam dengan pola garis-garis putih dan skinny jeans hitam membalut tubuhku pagi ini. Ransel merah berisikan makanan, beberapa botol air mineral dan baju ganti sudah aku letakkan dengan rapi di dekat pintu. Semoga aku bisa bersenang-senang dan bisa melupakan kegelisahan hidup setidaknya hari ini saja, tekadku dalam hati. Aku meraih topi baseball hitam dari atas meja rias, bersiap untuk turun ke lobby saat telepon genggamku berbunyi menandakan panggilan masuk.


"Gue baru mau buka pintu, Van, sabar dong," sahutku cepat saat melihat nama yang tertera di layar telepon genggam.


"Good. I'm at your lobby. Sitting like no one's watching. Oh no, now a teenage girl just aiming her cellphone to me," ujar Jivan pelan.


"Ya udah tunggu. Lo nelfonin gue terus juga ngga akan mempercepat pergerakan gue. Stop calling me every two minutes." Aku berujar kesal sambil berusaha memasukan telapak kakiku ke strappy flat sandal berwarna emasku.


"Na, please come here faster. I think she's recording me. Oh, and now she's calling her friends. Be here in thirty seconds, okay?" Jivan mematikan sambungan teleponnya sebelum aku sempat protes.


Thirty seconds dari Hongkong. Aku menggerutu dalam hati. Walaupun sebetulnya kasihan karena Jivan pasti sedang panik sendirian dikerubungi gadis-gadis remaja. Tapi memakai sandal bertali yang talinya sampai ke betis ngga mungkin selesai dalam sepuluh detik kan? Huh. Selesai mengikat tali-tali sandal, aku meraih ransel merahku dengan cepat, menutup pintu dan berlari menuju lift dengan iringan nada dering telepon genggam yang terus berbunyi dari dalam tas.


***


"Why do you wear stripes today? People are looking at us. Kita kayak anak kembar yang lagi ditinggal orang tuanya dinas, tau ngga," bisik Jivan di dekat telingaku.


"Lha harusnya gue yang protes. Makanya lo bilang dong mau pake baju apa biar gue pake baju lain." Aku berujar datar. Jivan memalingkan wajahnya dan menatap jalanan di depan Halte BNN yang macet.


Pergi ke Dufan kali ini, aku tidak mempersiapkan baju apa yang harus aku pakai dari jauh hari. Alasan kaos ini terpilih untuk dipakai hari ini adalah hanya karena ia terletak di tumpukan paling atas dalam lemariku. Aku tidak tahu kalau Jivan akan mengenakan kaos dengan warna dan pola yang sama persis denganku. Hanya bedanya, kaos Jivan berlengan panjang. Tampilan kami yang tidak sengaja seragam hari ini sepertinya sudah cocok untuk disangka menjadi peserta Employee Gathering sebuah perusahaan.


"Na, panas nih. Gosh, does this stop have an aircon?"


Aku menoleh ke Jivan yang duduk di sampingku. Kepalanya didongakan ke arah langit-langit halte. Matanya tertutup bucket hat dan sejumput helaian poninya yang sudah panjang. Aku menyadari beberapa bulir keringat yang sudah terlihat bermunculan di lehernya.


"Lo tau ngga sih, Van? Kalo aja lo ngga maksa naek TransJakarta dan memilih pake mobil Sakti atau naik taksi ke Ancol, lo ngga perlu keringetan dan gue ga perlu dengerin lo ngeluh dari tadi."

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang