Chapter XXIV. Blood And Bones

895 139 16
                                    

'Hai, Jivan ..


Apa kabar? Terakhir kita ketemu tiga minggu lalu dan ngga biasanya juga sih gue nanya kabar lo. Tapi ini pertama kalinya kita ngga ketemu lama. Maaf ya gue ngga bisa nganter lo. Jangankan pergi naik pesawat, gue naik turun tangga aja ngga dibolehin sama Dokter, Van.


Sejak Sakti ngasih tahu gue kalo lo udah ngga ada, setiap hari gue cuma mau tidur. Sebelum tidur gue selalu berdoa supaya lo dateng ke mimpi gue. Ngga usah di mimpi, tiba-tiba lo muncul di depan gue pun gue akan bahagia, Van. Gue ngga akan takut walaupun lo udah berubah jadi hantu. Lo adalah the loveliest ghost, Van. Mitos yang gue denger selama ini, orang yang pergi akan dateng ke mimpi seseorang terdekatnya buat mengucap salam perpisahan. Tapi kenapa satu kali pun lo ngga pernah muncul di mimpi gue, Van? Dipta, Wama, Sakti, Bara semuanya ngga pernah mimpi yang ada lo. Cuma terakhir Mas Andrei bilang katanya Pak Radit mimpiin lo. Lo dateng ke mimpi Pak Radit buat bilang terima kasih, balas dendam atau nyasar aja, Van? Bahkan setelah jadi hantu pun lo masih suka hilang arah.


Ibu lo pernah cerita kalo lo pernah hilang di kebun binatang. Dan saat itu dunianya berhenti sampai akhirnya lo ketemu di depan toko bando. Dunia gue juga berhenti, Van, setelah gue sadar lo ngga akan pernah kembali lagi di hidup gue, juga di Eunoia. Gue ngga mau lihat TV atau buka handphone karena semuanya penuh berita tentang lo. Ngelihat lo masih ada di layar tapi setelahnya gue inget itu cuma dokumentasi, gue sedih. Setelah seminggu, berita-berita itu hilang. Dunia berjalan seperti biasa lagi. Jakarta masih macet, berita di TV penuh lagi dengan debat politik, berita kriminal, semuanya kembali normal. Tapi gue belom, Van. Dunia gue belom normal. Gue marah tapi gue ngga tahu harus marah ke siapa. Ke Mas Andi karena ngga hati-hati saat nyetir? Tapi Mas Andi pun udah ngga ada. Kenapa saat itu kita harus berantem cuma karena salah paham, Van? Kenapa gue terlalu gengsi sampai gue ngga bisa minta maaf saat itu? Kenapa gue harus ngajak lo ke Bandung kemarin? Ribuan pertanyaan 'kenapa' ngga pernah hilang dari otak gue, Van.


Kemarin Mama nangis. Pertama kalinya gue liat ibu gue nangis. Mama nangis karena dia takut gue kesurupan gara-gara setiap hari gue cuma bengong di kasur. Akhirnya gue pun cerita kalo gue mundur dari rekrutmen itu. Gue udah siapin mental dan berbagai argumen kalo Mama marah dengan keputusan gue. Tapi anehnya kali itu Mama ngga marah. Mama cuma bilang terserah gue mau ngelakuin apapun yang penting gue seneng dan ngga bengong lagi kayak kemarin-kemarin. Lucu juga ya, gue harus jatuh dulu baru Mama mau berdamai dengan gue.


Selama ini lo selalu bilang lo ngga bisa hidup tanpa gue, tapi sekarang lo bisa kan, Van? Nyatanya gue dan yang lainnya kesulitan hidup tanpa lo. Group chat kita sepi banget, ngga ada kiriman meme garing dari lo. Dan gue baru sadar kalo selama ini gue terbiasa ada lo sehari-hari, sekarang saat lo ngga ada rasanya kayak ada lubang kosong. Ada yang sesuatu yang hilang, Van.


Maaf ya, gue ngga bisa membalas perasaan lo. Maaf juga buat semua kata-kata gue pas kita berantem di Bandung terakhir. Terima kasih udah pernah ada di hidup kita walaupun cuma sebentar. We will forever be best friend, Van. Lo, gue, Sakti, Dipta, Bara, Wama.


Aneh ngga sih, gue baru bisa minta maaf dan bilang terima kasih di saat lo ngga ada? Terlebih lewat surat yang gue tahu ngga akan pernah sampai ke lo. Gue bahkan udah ngga bisa hitung berapa kali gue minta di doa gue supaya waktu diputar ulang.


Semoga lo baik-baik aja di sana. See you, Van.'


***


Aku menekan tombol simpan, menaruh iPad-ku dengan asal di atas kasur dan segera menyeka sisa-sisa air mata di wajahku saat terdengar suara pintu unitku terbuka. Buru-buru aku berjalan ke pintu dan mengambil beberapa tas belanja dari tangan Mama.


Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya aku bisa pulang ke apartemenku. Mama masih menemaniku setelahnya hingga saat ini. Selain beralasan untuk mengawasi makanan dan obat yang harus aku konsumsi, sepertinya Mama juga khawatir meninggalkanku sendirian dengan pikiranku yang lebih sering kosong ini.


Selama di rumah sakit, tidak ada hari yang aku lewatkan tanpa menangis. Mama mulai dari menasehatiku panjang lebar bahwa jalan terbaik untuk menghadapi kehilangan adalah dengan mengikhlaskan, mengomel saat nasihatnya tidak mempan, hingga akhirnya ia ikut menangis. Sejak hari itu aku tidak mau menangis di depan Mama lagi walaupun hal sekecil apapun terkadang mengingatkanku akan Jivan, bukan karena aku takut Mama marah namun meilhat orang tua menangis karena diriku rasanya pedih juga.


"Besok kamu jadi ke kantor, Ri?" tanya Mama dari kamar mandi.


"Jadi, Ma."


"Jangan lupa itu dibawa jaketnya si Sakti ya, baru Mama ambil tadi dari laundry. Sudah wangi gitu bilangin."


"Iyaaa." Aku menyahut dan meraih kantong kertas berisi jaket biru tua yang beberapa minggu lalu tidak sengaja terkena muntahanku saat aku histeris setelah mendengar berita itu. Untunglah telepon genggam Sakti yang aku lempar tidak hancur berkeping-keping dan masih berfungsi normal sehingga aku tidak merasa semakin bersalah.


Besok akan menjadi hari pertamaku ke kantor setelah dua minggu aku tidak masuk karena sakit. Juga hari pertama tugasku berkurang menjadi mengurus empat orang saja. Aku belum menginjakkan kaki di Sky Suite lagi setelah terakhir aku pingsan di kamar Jivan. Namun beberapa kali Bara dan Dipta bercanda di group chat kalau Sky Suite terasa terlalu sepi dan mereka membutuhkan tempat yang lebih kecil. Tapi aku rasa bukan hanya soal unit Sky Suite yang terlalu besar untuk empat orang namun melihat kamar kosong Jivan yang sepertinya membuat mereka sedih hingga mereka bersikeras untuk segera pindah ke tempat baru.


Selesai membereskan barang belanjaan yang Mama bawa, aku meraih kembali iPad-ku dan melihat surat yang baru saja aku tulis di GoodNotes. Setiap hari aku menulis surat untuk Jivan yang kenyataannya tidak pernah aku kirim dan hanya tersimpan di folder dalam iPad-ku. Aku menulis banyak hal dan menganggap suratku sebagai pengganti percakapan yang biasa kami lakukan setiap hari walaupun akhirnya tulisanku kebanyakan berisi ungkapan penyesalan. Terkadang aku berpikir apakah aku berlebihan namun Sara mengatakan hal itu wajar karena setiap orang menghadapi kehilangan dengan caranya masing-masing. Ia bahkan menghabiskan masa kecilnya hingga remaja dengan menulis surat untuk ayahnya yang pergi meninggalkan ibunya begitu saja dan berakhir dengan surat-surat itu tersimpan dalam kotak di gudang.


"Ri, ini kertas print-an kamu lho tergeletak begini saja." Tiba-tiba Mama menyahut dari depan TV. Aku beranjak dari kasurku dan mengambil selembar kertas di tangan Mama, melipatnya dengan rapi dan memasukkan ke dalam amplop untuk aku bawa besok ke kantor.


***


Notes : Thank you for anyone who read this. I'm so grateful. I'm so sorry for very late update but I will try my best to finish this story (at least that's my goal hehehe) I can say maybe around five more chapters until it comes to an end. I hope you all stay safe and stay healthy always!!

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang