Chapter IV. In Spite of All

2.2K 276 33
                                    

"Not good, Jivan, ulang lagi."


Mas Andrei menekan tombol talkback mic di atas meja, tangan kirinya melepas kacamatanya. Ia menggaruk-garuk keningnya yang aku yakin sebetulnya tidak gatal. Di sebelahnya Sakti duduk terdiam. Tubuhnya dicondongkan ke arah meja, wajahnya terpaku lurus menatap Jivan yang sudah lebih dari lima belas menit berada dalam Isolation Booth namun belum ada satu bait pun yang bisa ia nyanyikan sesuai dengan yang diinginkan Mas Andrei. Sementara itu, aku bisa melihat Jivan mendongakkan kepalanya menatap langit-langit dengan tatapan nanar melalui kaca pemisah transparan.


"Okay," Sahut Jivan pelan. Nada suaranya yang terdengar lelah menggema dari speaker yang tergantung di control room ini.


Alunan instrumen mulai terdengar memenuhi ruangan, Jivan mulai menyanyikan bagiannya namun belum selesai Jivan menyelesaikan bait yang harus ia nyanyikan, Mas Andrei kembali memotong melalui intercom.


"Van, can you make the notes higher? But don't use falsetto, okay? Ulang," Perintah Mas Andrei.


"Okay," Jivan menghirup napas dalam-dalam sebelum ia mulai menyanyikan bagiannya untuk yang kesekian kalinya.


"Van, ngga, ngga gitu! Starting from 'dream', it has to be higher. Dream, dream, dreaaam. Kayak gitu." Mas Andrei beranjak dari kursinya, jemarinya menari di udara membuat gerakan menunjuk seperti anak tangga, mencoba menginterpretasikan apa yang ia inginkan ke Jivan. "You were really low before, just get it 'bit higher. And put your soul in it, can you?"


Jivan mengacungkan jempol tangan kanannya. "'kay, I'll try."


"Good. Okay, ulang, Van."


Musik yang sama kembali diputar. Jari di kedua telapak tanganku sudah tidak cukup untuk menghitung berapa kali aku mendegar alunan musik ini selama lima belas menit aku berada di studio. Baru satu bait yang Jivan nyanyikan, Mas Andrei Kembali menggelengkan kepalanya sebelum ia memencet tombel speaker. Aku meringis menyadari bahwa pengulangan kali ini pun Jivan tidak lebih baik dari pengambilan suara sebelumnya.


"Van, it's still not the way it should be," ujar Mas Andrei penuh penekanan pada setiap katanya.


Sakti tidak lagi menatap lurus ke dalam Isolation Booth, ia menundukan kepalanya dalam-dalam. Tangannya terlipat rapat di atas meja. Kedua telapak tangannya saling terkait, mengepal kuat. Aku mendengar embusan napasnya yang terdengar sangat berat. Ia terlihat sama frustasinya dengan Mas Andrei melihat performa Jivan hari ini di studio rekaman. Aku duduk terdiam di sofa hitam di belakang meja Sakti dan Mas Andrei, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun daripada nanti aku disemprot mengingat suasana yang sedang tegang seperti ini. Jangankan Mas Andrei, aku yang baru duduk di studio selama lima belas menit pun sudah frustasi melihat Jivan terus menerus mengulang kesalahan yang sama.


"Lo keluar dulu lah, this is just not your day," ujar Mas Andrei akhirnya.


Jivan menggantungkan headphone-nya di standing mic dan melangkah keluar Isolation Booth. Ia berjalan menuju sofa hitam yang aku duduki dengan langkah gontai dan menghempaskan tubuhnya dengan keras. Aku menggeser tubuhku ke pinggir sofa, memberi ruang untuk Jivan tenggelam dalam apapun bentuk bad mood dia hari ini.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang