Chapter XXVIII. Sakti - Deep in Love

3.5K 195 60
                                    

Untuk yang kesekian kalinya, gue memandangi cincin logam platinum dengan batu berlian berbentuk persegi menghiasi benda bulat tipis yang berdiri sendirian di dalam box kecil berwarna biru muda. Berkali-kali gue berusaha mengingat tujuan adanya cincin ini dibanding harus teringat harganya yang lebih mahal dari harga S2 Ekonomi universitas swasta di Jakarta. Setiap kali gue teringat harganya, setiap makanan yang sedang gue kunyah langsung berasa pahit.


Setelah berkutat di toko perhiasan ternama selama beberapa jam kemarin, gue yang dibantu Rani, akhirnya menjatuhkan pilihan ke cincin ini. Kata Rani, cincin dengan jenis solitaire diamond (Rani perlu menjelaskan berkali-kali ke gue jenis-jenis cincin tunangan) terlihat sangat klasik, simple, dan anggun alias Irina banget, kalau kata dia, yang aku benarkan di bagian klasik dan anggun tapi tidak di bagian simple. Jalan pikiran Irina itu ngga pernah simple. Kalau diibaratkan jalur Jakarta – Bandung, maka jalur pikiran Irina bukan lurus dan mudah semacam Jakarta – Tol Cikampek - Tol Cipularang – Bandung namun ia akan memilih Jakarta – Tol Jagorawi – bermacet-macetan di Puncak – Cianjur – Padalarang – Bandung.


Setelah empat tahun gue dan Irina resmi mengubah label hubungan dari Manajer dan Artis ke hubungan pacaran, akhirnya sekarang gue berani mengambil langkah besar yaitu melamar. Sebenarnya gue dan dia sudah sering membicarakan tentang rencana masa depan, keluarga pun sudah saling kenal, hati pun sudah yakin untuk menikahi masing-masing nantinya. Namun, menikah ternyata ngga semudah suka, pacaran habis itu menikah. Irina bersikeras ia butuh waktu untuk beradaptasi dan memantapkan hati di pekerjaan barunya di Brees sebelum akhirnya harus siap berumah tangga. Gue pun teringat janji gue sesaat setelah gue sampai di Jakarta pertama kali untuk masuk RA, kalau gue ngga akan menikah sampai gue selesai membiayai adik-adik gue, Jihan dan Rani, sekolah hingga sarjana. Dan tiga bulan lalu adik bungsu gue, Rani, wisuda dan mendapatkan pekerjaan pertamanya di salah satu start up besar di Jakarta. Selesai dengan janji gue untuk keluarga, akhirnya di sinilah gue membayangkan beberapa jam lagi cincin pilihan Rani bisa berpindah ke jari manis tangan kiri Irina.


"Ke Dufan yuk, Yang," ujar gue setelah Irina mengangkat panggilan telepon gue.


"Ini udah jam dua lho, Sayang, Dufan tutup jam delapan. Kita mau ngapain di sana cuma beberapa jam doang? Kalo mau ke Dufan harusnya dari jam sepuluh kita udah di depan wahananya."


"Ngga apa-apa, aku lagi mau lihat keramaian aja. Nanti aku beli tiket yang premium biar kita ngga perlu antri."


Setelah mengeluarkan segala jurus rayuan akhirnya gue berhasil membuat Irina setuju. Gue segera bersiap dan memilih baju terbaik yang ada di lemari, walaupun berujung pada lagi-lagi T-shirt dan kemeja, tapi setidaknya gue harus memilih yang paling rapi dan bagus dari semua setumpuk kemeja dan T-shirt yang gue punya.


Untungnya hari ini tidak ada orang di apartemen. Wama, Bara dan Dipta sudah keluar dari tadi pagi dengan jadwal masing-masing. Bagus lah jadi gue ngga perlu pergi diiringi pertanyaan iseng mereka. Satu tahun setelah Sara menikah dengan Maxi, belum ada di antara kami yang ikut mengambil jalan Sara. Dipta dan Gemma yang baru putus untuk ke-sembilan kalinya, iya gue terlalu rajin sampai selalu menghitung jumlah mereka putus dan balikan, tapi kerajinan gue selalu berguna kalau Dipta sedang mengeluhkan hubungannya dan akhirnya gue harus memberikan nasihat panjang. Sementara Bara yang ternyata cukup awet dengan Mia dan Wama dengan Nadya yang masih menikmati masa pacarannya setelah Nadya baru saja kembali ke Jakarta beberapa bulan lalu.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang