Chapter XXIII. In The Arms Of The Angel

870 145 31
                                    

Aku terbangun saat suara Mama yang menyuruh perawat mencabut kabel TV dari stop kontak terdengar cukup gaduh. Langit di luar jendela sudah terlihat gelap berarti sebentar lagi waktunya makan malam. Lidahku yang masih terasa pahit dan penampakan makanan rumah sakit yang membosankan membuat selera makanku hilang setiap kali perawat menyodorkan nampan makanan dan akhirnya berujung dengan Mama yang mengomel panjang hanya karena aku malas-malasan makan.


Kemarin akhirnya aku dilarikan ke rumah sakit saat demam tinggi hampir membuatku tidak sadarkan diri dan ini adalah hari kedua aku dirawat inap setelah dokter mendiagnosaku dengan tifus. Sejak kemarin malam, Mama datang ke Jakarta dan menemaniku setelah Sakti meneleponnya memberi tahu keadaanku. Apakah Mama datang dengan uraian air mata karena melihat anaknya terkapar di kasur rumah sakit? Tentu tidak. Dari kemarin Mama tidak berhenti mengoceh menyalahkanku yang tidak bisa mengurus diri hingga jatuh sakit.


"Kok kabel TV-nya dicabut?" tanyaku setelah perawat keluar dari kamar.


"Kamu ngga sembuh-sembuh kalau nonton TV terus."


Sontak aku memutar bola mata mendengar jawaban Mama. Jelas-jelas Mama yang dari kemarin menguasai remote TV dan sibuk menonton drama korea. Tidak hanya itu, Mama juga menjauhkanku dari telepon genggam dan iPad-ku. Menurutnya aku harus benar-benar beristirahat dan fokus untuk sembuh bukannya terus berkutat dengan telepon genggam.


"Orang kantor kamu sudah bilang ada yang gantiin kamu sementara sampai kamu sembuh total. Lagian kemarin Sakti juga bilang ke Mama, mereka bisa urus diri mereka sendiri yang penting kamu sembuh dulu, gitu," jawab Mama saat aku berulang kali menanyakan telepon genggamku. "Kamu ini, ngga usah pikirin kerjaan terus. Itu dimakan buburnya cepet, jangan sampai ngga habis lagi."


Dengan malas aku menyendok bubur yang penampilannya sangat tidak menarik. Warnanya putih pucat, tidak ada kecap asin, butiran kacang, apalagi sambal. Otakku berkelana membayangkan makanan pedas dan penuh vetsin yang biasa aku makan. Bakso Gondrong di Tebet, Mi ayam, lumpia basah, ayam goreng KFC. Ah, ternyata merindukan makanan sama beratnya seperti rindu dengan manusia. Pokoknya keluar dari sini aku harus segera menyikat semua makanan itu!


Butuh waktu lebih dari setengah jam untukku memasukkan setengah bubur pucat ini ke dalam mulut. Tidak ada telepon genggam, tidak ada TV, tidak ada iPad, aku hanya terbengong-bengong dan bermain dengan pikiranku sendiri. Apa kabar Jivan, ya? Setiap hari aku menghitung hari hingga Jivan sadar dan sekarang sudah hari ke-enam. Waktu liburan seminggu yang diberikan management sudah habis. Bara, Sakti, Wama, Dipta bahkan Jivan sudah berkumpul lagi di Jakarta namun siapa yang mengira kalau kali ini kami berkumpul dengan cara yang berbeda. Seluruh jadwal Eunoia untuk satu bulan ke depan sudah dibatalkan. Tidak hanya jadwal grup, jadwal individu pun harus batal karena mereka berempat menolak hadir di manapun sampai setidaknya Jivan sadar.


Tadi pagi, Wama dan Dipta bergantian datang menjengukku. Alih-alih membawa buah-buahan, Dipta sengaja membawa satu plastik besar berisi beberapa kantong keripik singkong dan jajanan pasar lainnya yang tentunya hanya bisa aku pandangi dari jauh. Ia tahu semua makanan yang bervetsin adalah kelemahanku. Supaya aku termotivasi cepat sembuh, katanya sambil tersenyum licik. Sialan, Dipta!


Suapanku terhenti saat suara Mama menyapa Sara terdengar. Sara yang kali ini datang dengan rambut cokelat terang dan bergelombang melangkah mendekati tempat tidurku.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang