"Mbak, di rumah sakit ada siapanya mbak? Sampe ujan badai gini dijabanin?"
Suara abang ojek pangkalan beradu kencang dengan suara deras hujan dan gemuruh petir, saling berlomba untuk masuk ke dalam telingaku. Aku memajukan wajah mendekati telinga abang ojek yang tertutup helm. Setengah berteriak, aku memintanya mengulang kembali pertanyaannya.
"SIAPA MBAK DI RUMAH SAKIT?" Kali ini ia benar-benar berteriak. Wajahnya sedikit ditolehkan ke arahku sementara kedua tangannya tetap mencengkram setang kemudi motor.
"SUAMI SAYA!" Tanpa pikir panjang, aku segera menjawab pertanyaan abang ojek dengan asal. Berharap dengan mendengar jawabanku, ia menyadari urgensiku dan semakin cepat menyetir ke rumah sakit.
"Oooh mbaknya udah punya suami toh."
Aku tersenyum hambar saat ia melihatku melalui kaca spion. Selanjutnya tidak ada lagi sesi tanya jawab antara aku dan abang ojek. Ia sibuk mengemudikan motor bebeknya, berkelok di sela-sela lautan kendaraan pribadi, TransJakarta ataupun motor lainnya di sepanjang jalan protokol ini. Tidak ada tanda-tanda hujan akan reda dalam waktu dekat. Aku mulai merutuki kumpulan awan yang memilih untuk menjatuhkan bongkahan airnya malam ini, menyalahkan diriku yang mengaktifkan airplane mode sehingga aku melewatkan panggilan penting dari Mas Andrei, jadwal kuliah Bara, dan truk yang terguling di tol itu. Berbagai pikiran buruk atas nasib Bara berlompatan di kepalaku di saat deru jantungku pun memperparah kondisi hati dengan berdegup sangat kencang. Suaranya berlomba dengan suara petir yang menggelegar di sepanjang jalan Sudirman yang biasanya aku kagumi ini. Beberapa kali aku memejamkan mata sesaat setelah kilat tertangkap mataku. Aku takut kilat dan petir. Seperti aku takut pada Mama, naik Kora-kora ataupun melihat bekicot. Namun saat ini aku menyadari, ketakutan akan kehilangan teman membuat tubuhku nekat bergerak menghadapi kilat dan petir yang menghiasi Jakarta malam ini.
***
Langkahku terhenti sejenak saat bola mataku menangkap kerumunan wartawan berkerubung di depan lobby utama rumah sakit. Aku menolehkan kepalaku ke berbagai arah, berusaha mencari pintu masuk lain. Namun sayangnya mataku keburu beradu dengan seorang kameraman. Tidak membutuhkan waktu lama untuknya meneriakan namaku dan membuat perhatian kerumunan wartawan lainnya teralihkan ke arahku yang berdiri terpaku di bawah hujan.
Sungguh aku sedang tidak dalam kondisi hati yang baik untuk berinteraksi dengan manusia lain.
Dalam hitungan detik aku segera melangkahkan kaki setengah berlari, menerobos barikade para wartawan. Bodo amat dengan para wartawan gossip itu!
"Mbak Irina, dengan keadaan Bara yang sedang koma seperti ini, apakah dia akan segera dikeluarkan dari Eunoia?"
"Tolong konfirmasi tanggapan Bapak Radit dari kecelakaan ini, Mbak."
"Apa benar Mas Bara dalam pengaruh alkohol dan menggunakan obat-obatan?"
"Apa Mbak Irina merasakan firasat sebelumnya kalau Mas Bara akan kecelakaan parah seperti ini, mbak?"
"Sebagai manajernya, apa ini ada kaitannya dengan cekcok di internal Eunoia, Mbak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [Completed]
Fiksi Penggemar[On-going revision] Irina Mahika adalah seorang karyawan biasa yang mulanya bekerja sebagai Personal Assistant pendiri salah satu agensi ternama. Namun, kepergian Pak Rasjid yang mendadak empat tahun lalu membuat Irina nyaris kehilangan pekerjaannya...