Shit! Shit! Shit!
Gue ngga bisa berhenti mengumpat merutuki keadaan setelah turun dari taksi. Gue harus ke mana setelah ini? Sok tahu banget pergi ke Jakarta sendirian, sehari-hari aja gue ke Lawson minta ditemenin. Gue menarik napas dalam-dalam. Tenang, gue pasti bisa. Gue bisa melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan siapa pun, apalagi Irina. Fake it 'till you make it, bro!
Setelah menunjukkan tiket ke petugas, gue berjalan ke arah beberapa kursi di tempat tunggu. Untung malam ini stasiun kereta Bandung ngga rame-rame banget jadi gue bisa cari kursi yang sepi biar gue ngga perlu berinteraksi sama orang lain.
Gue merapatkan masker hitam yang menutupi mulut dan hidung gue, dan topi bucket hitam andalan. Sunglasses sengaja ngga gue pakai karena, dude, niat gue ngga mau cari perhatian orang. Gue pakai kaos pink sambil jalan sendirian begini aja, beberapa anak muda bisik-bisik dan sesekali gue denger kata-kata 'itu artis bukan sih?' apalagi kalo gue pakai sunglasses jam tujuh malam begini?
Sekitar sepuluh menit sebelum jam keberangkatan, pemberitahuan tentang kereta gue akhirnya muncul juga. Tanpa menunggu lama, gue langsung naik ke gerbong gue dan menaruh badan – dan hati gue – yang lelah di kursi kereta yang lumayan empuk ini. Kursi sebelah gue masih kosong. Ya semoga aja gue cuma duduk sendiri. Karena for God's sake, gue lagi males basa-basi. Jangan ada yang ngajak gue ngobrol malam ini.
Telepon genggam gue bergetar untuk yang keseribu kalinya. Lebay ya gue? Tapi emang segitu banyak kira-kira Irina menelepon dan membombardir WhatsApp gue. Layar telepon genggam gue berkedip-kedip cukup lama. Mata gue cuma terpaku melihat nama Mahika, Irina tertera di sana, ngga ada niatan buat menekan tombol accept call.
Kalo dipikir lagi, gue emang goblok banget apa ya? Semua tanda-tanda itu jelas. Irina ngga pernah melihat gue lebih dari teman. Dia baik dan perhatian sama gue karena emang sudah tugasnya mengurus gue. Coba lihat dia sama Sakti, dia selalu mengusahakan semuanya buat Sakti.
'Ayo, guys, buruan. Kasihan nanti Sakti nunggu lama.'
'Tolong kasih vitamin ini ke Sakti ya, Van. Kasihan dia tenggorokannya sakit.'
Apa lagi?
'Jangan berisik, Jivan, kasihan Sakti lagi tidur.'
See? Nama Sakti itu jadi penghuni tetap di tangga paling atas priority list Irina. Apalagi kalo ada sesuatu yang menyangkut Tika. Irina yang mulutnya ngga pernah berhenti ngomel bisa tiba-tiba diam dengan tatapan mata penuh bola api. Padahal gue berharap Sakti balikan lagi sama Tika, tapi ternyata dia juga naksir Irina. What a perfect love story, isn't it? Gue selama ini kayak jadi penonton film cinta yang benci ending ceritanya dan keluar bioskop dengan hati kesal tapi ngga bisa berbuat apa-apa. Ya gimana, gue bukan sutradaranya.
Satu lagi yang gue ngga habis pikir, bisa-bisanya selama ini mereka sembunyi-sembunyi. Mereka tahu ngga sih rasanya ada di posisi gue? A complete fool! Why did she lie to me? Kenapa Irina berpikir gue bakal marah kalo dia ngasih tahu gue? Ya gue emang bakal marah tapi gue merasa kayak orang bego yang ngga tahu apa-apa sampai nyokapnya Irina ceritain semuanya. See? Sesuatu yang ditutupin emang suatu hari bakal kebongkar juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [Completed]
Fanfiction[On-going revision] Irina Mahika adalah seorang karyawan biasa yang mulanya bekerja sebagai Personal Assistant pendiri salah satu agensi ternama. Namun, kepergian Pak Rasjid yang mendadak empat tahun lalu membuat Irina nyaris kehilangan pekerjaannya...