Aku berjalan gontai keluar kamar masih dengan mulut yang tidak berhenti menguap. Kalau bukan karena telepon dari Mama yang memarahiku untuk segera bangun dan mengatakan sebentar lagi Adzan Dzuhur, aku tidak akan mungkin sukarela beranjak dari kasur yang sudah lama tidak aku tiduri ini. Aku mendesah kesal saat melihat jarum jam di dinding ruang tengah yang baru menunjuk angka delapan. Serius deh, kenapa Mama harus selalu hiperbolis setiap kali menyuruhku bangun? Jangankan waktu Dzuhur, ini saja baru masuk waktu Shalat Dhuha!
Setelah menghabiskan lima belas menit duduk bengong di kursi makan, akhirnya aku memutuskan untuk benar-benar bangun dan mulai sarapan. Semalam aku dan Jivan baru sampai rumahku sekitar pukul dua belas malam. Mama yang sangat antusias dengan kedatangan Jivan menyambut kami – lebih tepatnya Jivan – seperti kedatangan tamu negara. Berbagai jenis kue ditaruh di meja makan, bahkan kamar bekas Kak Fifi yang akan ditempati Jivan seminggu ke depan sudah rapi dengan seprai baru yang masih licin dan wangi.
Aku menghirup dalam-dalam udara pagi. Segar juga ya ternyata, sungguh beda suasananya kalau aku bangun jam dua siang. Seperti biasa pagi hari di rumahku terasa sepi, hanya ada suara Mbak Titi yang sedang membersihkan rumah. Papa sudah berangkat mengajar, Mama pergi ke toko kuenya, sedangkan Kak Kani dan Jivan sedang bermain badminton di halaman depan. Luar biasa, sudah aktif sekali orang-orang ini sementara dalam kamus liburanku jam delapan pagi masih termasuk pagi-pagi buta di mana seharusnya aku masih meringkuk di balik selimut.
Baru saja sesendok nasi goreng masuk ke mulutku, Kak Kani dan Jivan masuk ke rumah dengan ocehan dan tawa mereka berdua yang terdengar cukup berisik untuk pagi pertamaku di Bandung yang harusnya tenang ini. Mereka memegang raket badminton di tangan masing-masing dan dari tempatku duduk pun aku bisa melihat keringat yang membanjiri tubuh Kak Kani dan Jivan.
Aku berdecak jengkel saat mendapati Kak Kani berdiri di depan kipas angin yang menyala kencang, berusaha mengeringkan tubuhnya dari keringat sedangkan Jivan langsung masuk ke kamarnya.
"Bisa ngga sih kalo masih keringetan jangan berdiri depan kipas angin? Racun banget buat paru-paru aku. Pagi-pagi gini tuh aku butuh oksigen!" Aku menggerutu kencang sembari mengunyah kerupuk. Jorok banget deh manusia satu ini. Aku bisa membayangkan keadaan rumah dinas Kak Kani selama tugas di Canberra kemarin pasti berantakan dan bau macam sarang musang.
Alih-alih menyingkir dari depan kipas angin, Kak Kani malah membuka kaosnya dan melemparnya ke arahku.
"Iiiiiih!!" Aku menjerit jijik saat kaos basah penuh keringat Kak Kani tepat mengenai lenganku. Sontak aku menendangnya jauh-jauh diiringi tawa terbahak-bahak Kak Kani dari ruang tengah.
"Jorok banget sih lo, Kak, pantesan lo ngga punya pacar .. ih amit-amit!" lanjutku masih dengan hati dongkol.
"Belagu lo, sama-sama jomblo juga. Lo pasti bangun gara-gara ditelepon Mama kan? Biasanya juga baru keluar kamar jam satu," ledek Kak Kani.
Aku mencibir ke arahnya menyadari pasti dia dalang yang mengadu ke Mama kalau aku masih tidur. Jivan yang sudah mengganti kaosnya berjalan ke arah meja makan ikut mentertawaiku. Tanpa disuruh, ia duduk di depanku dan memandangi makanan di meja makan dengan seksama.
"Lo udah makan, Van?" tanyaku.
"Udah –" Jivan mengangguk namun matanya tidak lepas dari piring berisi nasi goreng buatan Mama. "— tapi gue masih punya space buat nasi goreng nyokap lo." Lanjutnya dengan senyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [Completed]
Fiksi Penggemar[On-going revision] Irina Mahika adalah seorang karyawan biasa yang mulanya bekerja sebagai Personal Assistant pendiri salah satu agensi ternama. Namun, kepergian Pak Rasjid yang mendadak empat tahun lalu membuat Irina nyaris kehilangan pekerjaannya...