Chapter VII. Technicolour

1.6K 225 13
                                    

"Pak, AC nya minta tolong dikurangin sedikit ya, aku kedinginan."


Supir taksi mengangguk pelan mendengar ucapanku. Satu tangannya segera menggeser tombol AC, menurunkan suhunya agar tidak sedingin saat ini. Aku mencondongkan tubuhku sedikit ke depan dan merasakan suhu tubuh Jivan dengan punggung tanganku. Lehernya terasa panas dengan beberapa ruam kemerahan yang tampak menyebar. Ujung hidungnya memerah karena air hidung yang terus mengalir. Aku meraih tisu dari dalam tasku dan menyeka butir-butir keringat yang membanjiri wajahnya. Matanya terpejam rapat, menyisakan hanya hembusan napas dengan ritme lambat keluar dari mulutnya.


Aku terpaksa harus susah payah menarik Jivan keluar dari sesaknya Halte Harmoni di jam pulang kantor, saat kami turun dari TransJakarta. Ide Jivan untuk pulang ke apartemen Sky Suite dengan TransJakarta memang bagus, namun siapa sangka kalau ia sendiri yang hampir pingsan karena alerginya yang tiba-tiba semakin memburuk. Aku menghela napas pelan saat tanganku kembali merogoh ke dalam tas dan menemukan kotak tisuku sudah kosong. Terpaksa aku harus merelakan telapak tanganku untuk menyapu keringat yang tidak henti bermunculan di dahi dan pipi Jivan. Sesaat aku merutuki diri yang lupa membawa obat alergi Jivan karena terburu-buru tadi pagi. Untunglah jalanan Thamrin malam ini cukup lancar, setidaknya dalam waktu satu jam seharusnya kami sudah bisa sampai di Sky Suite.


"Kaget gue, Anj –"


Pekik tertahan dan kata makian sontak keluar dari mulutku saat Jivan membelalakan matanya tiba-tiba.


"Did you just curse at me?" Tanyanya di sela-sela bersin dan gelak tawa.


"Lap sendiri tuh keringet lo! Udah tau alergi panas-panasan, ya minum dulu obat lo sebelom pergi. Atau setidaknya dibawa peralatan lo itu." Aku melirik sinis ke arahnya.


"Lo kenapa lupa bawa obat-obatan gue?"


"Tapi itu barang-barang lo, Van. Yang sakit lo, yang repot jadi gue kan?"


"But, you usually bring those things with you, Na."


Aku membuang napas berusaha mengontrol kekesalanku. "Gue juga bisa lupa, Van. Tuh liat, idung lo udah mulai beringus, bentol-bentol kaya udang rebus, ditambah badan lo panas, besok lo ada jadwal foto terus gimana coba? Gue udah ngga bisa re-schedule lho, ini udah yang ketiga kali gue minta ganti jadwal. Bisa dilempar gue sama Pemred nya kalo besok gagal lagi."


"Fine. I'm sorry."


Aku terdiam tidak lagi membalas kata Jivan. Ia pun tidak berbicara sebanyak biasanya. Tidak ada suara radio. Tidak ada percakapan basa-basi dari supir taksi. Keheningan mulai terasa mendominasi suasana di dalam taksi. Aku meraih telepon genggamku dari ransel dan mengecek pesan-pesan yang masuk di Whatsapp. Konsentrasiku buyar saat Jivan menyandarkan kepalanya membuat bahuku terasa berat. Sengaja aku mengangkat bahu kiriku untuk menyingkirkan kepalanya.


"Can you spare me this time? My head is seriously dizzy," ujarnya dengan suara parau.


"Tapi jangan rese ya, gue mau balesin urusan kerjaan nih."


Jivan mengacungkan jempolnya ke depan wajahku. Jariku kembali menari di atas keypad telepon genggam. Sesekali tangan kananku meraih iPad untuk melihat jadwal Eunoia.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang