Chapter XV. I.L.Y

1.1K 167 35
                                    

"Na, lo makan dulu ya,"


Aku terbangun dari posisi berbaring dan kembali duduk di sofa. Sakti sudah kembali ke kamarku dengan dua plastik besar berisi makanan dan barang-barang dari minimarket. Setengah bagian hoodie abu-abunya terlihat menggelap karena basah namun ia terlihat tidak perduli. Ia sibuk memindahkan makanan ke mangkuk.


"Na," panggilnya lagi. Kali ini ia duduk di sebelahku dengan semangkuk plastik berisi bubur.


"Sak, ngga bisa, gue mual banget. Pasti bakal gue muntahin juga."


"Iya gue tau, tapi harus ada yang masuk ke badan lo, Na. Harus ada yang bener-bener dimuntahin supaya lo bisa enakan."


Kali ini perutku bukan satu-satunya organ tubuh yang sedang kacau, jantungku yang semula baik-baik saja tiba-tiba berdetak kencang. Apa dulu ia sebaik ini juga ke Tika hingga ia melakukan apapun untuk mendapatkan Sakti kembali? Kini otakku mulai menjalankan sesi debat internal.


"Badan lo bisa kehabisan cairan kalo ngga ada yang masuk tapi keluar terus." Ia menyendok setangkup bubur dari mangkuk.


"Ngga usah, Sak, gue bisa makan sendiri." Dengan cepat aku mengambil mangkuk dan sendok dari tangannya.


"Oke."


"Jangan liatin gue," ujarku pelan saat menangkap ia yang terus mengamatiku.


"Oke." Lagi-lagi Sakti hanya tertawa dan memalingkan matanya ke acara di TV.


"Lo ngga kedinginan?" tanyaku saat menyadari seluruh bagian punggung hoodie-nya benar-benar kuyup.


"Ngga kok cuma basah sedikit."


Aku mengangguk sekilas dan melanjutkan menelan bubur. Sakti duduk diam di sebelahku dengan matanya yang terpaku pada acara berita di channel TV5Monde. Ekspresi wajahnya yang serius membuatku bertanya-tanya apa dia benar-benar mengerti maksud berita yang dinarasikan dalam Bahasa Perancis itu atau hanya pura-pura memfokuskan dirinya ke TV?


"Lo balikan sama Tika ya?" tanyaku dengan nada yang kubuat datar. Aku putuskan untuk menanyakan langsung ke oknumnya sekarang daripada besok-besok aku mati penasaran.


"Kata siapa?" sahutnya tidak kalah datar. Ia bahkan tidak menengok ke arahku dan masih menatap acara di TV dengan khusyuk.


"Kata gue,"


"Kata lo salah berarti,"


"Gue serius, Sak,"


"Lho gue juga serius,"


Aku membuang napas pelan, antara gemas melihat hoodie-nya yang ia biarkan dalam keadaan basah dan kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang aku inginkan. Aku beringsut dari sofa dan melangkah ke arah koper yang tergeletak di samping rak baju.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang