Chapter XII. Life's A Bitch

1.1K 184 72
                                    

Beberapa kali aku memalingkan wajah dari jendela mobil dan bergidik saat cahaya kilat mellintas di depan mataku. Hujan lebat masih mengguyur jalan tol Cipularang malam ini. Aku berusaha menenangkan diriku dari ketakutan akan pikiran buruk setiap kali hujan deras dan petir terjadi. Dari seluruh film yang aku tonton saat kecil kenapa film Final Destination yang masih melekat di kepalaku? Beginilah jadinya, aku selalu khawatir hal-hal buruk yang menyangkut kematian akan terjadi.


Mas Andi melambatkan laju mobil saat kami melintas di jalan layang tol Cikampek. Butiran air hujan berlomba mengetuk jendela depan mobil dengan kasar. Cahaya kilat dan suara petir masih menemani perjalanan kami menuju Jakarta di pukul sembilan malam ini. Bandung – Jakarta yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu paling lambat tiga jam, harus kami lalui lebih dari itu. Bahkan tiga jam hanya kami habiskan untuk bermacet ria di daerah Padalarang karena tanah longsor yang menjorok masuk ke jalan tol. Akibatnya apalagi kalau bukan macet panjang dan pantat yang pegal karena kelamaan duduk.


Sudahlah, tidak pantas aku mengeluh di saat Mas Andi yang telah menyetir seharian pasti lebih frustasi lagi dibanding aku dan Jivan yang hanya duduk, makan, bercanda, mendengarkan lagu dan akhirnya tertidur. Namun seperti biasa, Mas Andi hanya diam tanpa ekspresi menghadapi kerasnya jalanan mau itu lancar, macet atau berhenti total sekalipun.


Aku bersorak dalam hati saat akhirnya penunjuk jalan menuju tol dalam kota terlihat. Langit masih menjatuhkan sedikit butiran-butiran airnya membuat lampu jalan sepanjang jalan tol terlihat mengabur di mataku. Aku memutar pergelangan tanganku. Pukul sebelas. Masih ada waktu untuk mengambil belanja mingguan Eunoia di apartemenku, setelah itu segera meluncur ke Sky Suite untuk merayakan ulang tahun Jivan.


Malam ini, Jivan akan resmi berumur dua puluh enam tahun. Aku menengok sekilas ke sebelahku. Jivan masih berkutat dengan telepon genggamnya, bermain game entah apalagi mungkin Adorable Home, setelah tertidur seperti orang pingsan selama di jalan tol. Aku, Bara, Wama, Dipta dan Sakti sudah merencanakan untuk merayakan ulang tahun Jivan dari jauh-jauh hari dengan memberinya surprise party kecil-kecilan di Sky Suite. Kepergian aku dan Jivan di tanggal ini ke Bandung pun merupakan bagian dari rencana kami agar Sakti, Bara, Wama dan Dipta bisa menghias tempat mereka dengan aksesoris ulang tahun, membeli kue, topi dan lain-lain. Namun, melihat perilaku Jivan seharian ini, jangankan curiga akan ada surprise party, ingat malam ini ia akan bertambah umur pun sepertinya tidak. Terkadang aku kasihan dengan anak rantau ini, Jivan yang kesepian seperti Hachi Lebah Madu yang sebatang kara.


"Na, gue ikut ya ke atas," ujar Jivan saat gedung apartemenku tinggal berjarak beberapa blok lagi.


"Lo tunggu aja di mobil, gue cuma sebentar kok," sahutku.


Rencanaku untuk bergerak cepat ala Sonic bisa bubar kalau Jivan ikut ke unitku. Ia yang pergerakannya jauh lebih lambat dariku bisa membuat kami sampai di Sky Suite jam satu. Dan pasti empat anak-anak itu akan mengomel kalau harus menunggu lebih lama lagi.


"I wanna use the bathroom," lanjutnya lagi.


"Di pom bensin aja deh, tuh! Kita berhenti sebentar ya?" telunjukku terjulur ke arah pom bensin yang terletak dua gedung dari apartemenku.


"Nooo! Na, itu kotor! Ngga bisa gue."


Aku memutar bola mataku. Jivan ini kadang ribetnya melebihi wanita deh.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang