Chapter X. Who Do You Love

1.2K 184 22
                                    

Suara volume TV terdengar cukup kencang saat aku membuka pintu kamar perawatan Bara. Percakapan dalam Bahasa Inggris yang terdengar serius memenuhi ruangan. Bara terduduk di atas kasurnya yang disetel dalam posisi miring. Wajahnya sama seriusnya dengan para aktor yang berakting pada serial True Detective yang sedang ia tonton. Aku meraih telepon genggamku dan menaruhnya lagi dengan kasar di atas meja makan saat menyadari masih tidak ada pesan masuk dari Mama ataupun Sakti. Mungkin Mama masih marah besar denganku. Begitupun denganku sih. Kata-kata Mama masih terngiang di telingaku dan walau telah lewat satu jam lebih namun menyakitkannya masih sama seperti saat aku pertama kali mendengarnya.


Sakti pun masih tidak ada kabarnya. Haruskah aku pura-pura mengirimkan pesan ke Mas Dion untuk menanyakan keberadaan Tika? Tapi bagaimana kalau Sakti tidak sedang Bersama Tika? Ya tapi aku jelas sekali mendengar ia menyebut 'Tik' di telepon tadi. Aku memang tidak pintar tapi aku tidak budek juga. Hmm, atau mungkin Tika meng-upload sesuatu di Instagram Story-nya?


Jemariku segera mengetik nama Tika di kolom pencarian Instagram. Tentu saja memakai akun Instagram palsuku. Mau ditaruh di mana wajahku kalau sampai Kartika Anindya itu tahu aku memata-matai sosial medianya.


Mataku perlahan membelalak saat melihat unggahan Instagram Story Tika sepuluh menit lalu. Ia menyoroti dirinya dan satu orang lainnya yang duduk di sebelahnya dengan wajah tertunduk, seperti sedang menulis sesuatu di buku. Ruangan di sekitar mereka sangat minim pencahayaan dengan suara musik yang cukup bising. Hanya dalam hitungan detik, mata elangku langsung mengenali pemilik kemeja garis-garis merah itu. Aku membaca caption yang tertulis di Instagram Story itu dan mendengus pelan. Meeting?! Mohon maaf nih mbak Tika, meeting apa ya Anda dengan Sakti di pukul setengah sebelas malam ini, di tempat yang tidak kondusif, hanya berdua pula? Aku sudah tidak bernafsu lagi mengingat setengah hari ini yang aku habiskan bersama Sakti kalau pada akhirnya, ia masih lebih mementingkan mantan pacarnya daripada aku yang baru saja bertengkar dengan orang tuaku dan teman satu grupnya yang baru saja kecelakaan ini.


"How was Sara? Was she okay?"


Aku mendongakkan kepalaku saat mendengar Jivan berbisik.


"Kayaknya sih ngga ya, dia nangis kejer gitu tadi di depan lift." jawabku tidak kalah pelan. "Gimana Bara? Dia ngga apa-apa kan?"


Jivan hanya mengangkat bahunya yang aku artikan sebagai tidak apa-apa.


"Tidur gih, Van! Tuh udah masuk jam tidur lo. Lo udah nguap-nguap lebar gitu kaya kuda nil, gue takut ketarik nih." Aku berbisik pelan menyadari wajah Jivan yang terlihat lelah dan menahan kantuk. Alih-alih menuruti perintahku, ia malah menarik rambutku pelan menanggapi ejekanku dan duduk di kursi meja makan.


"Ngga ah, I'll wait for you aja, Na. Kalo lo tidur, gue tidur." Ia tersenyum jahil sebelum menelungkupkan wajah putih pucatnya di atas meja.


Kadang aku tidak habis pikir dengan manusia blasteran di hadapanku ini. Ia berumur paling tua di antara anggota Eunoia, tapi kenapa mengurus Jivan rasanya seperti mengurus anak berumur delapan tahun? Kalau dikomposisikan mungkin kepribadian Jivan itu dua puluh persen dewasa, tiga puluh persen jahil, dan lima puluh persen manja.


Aku beranjak dari kursi dan meninggalkan Jivan yang sedang tidur-tidur ayam di kursinya saat mendengar Bara meminta tolong untuk membetulkan posisi kasurnya.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang