Suara lembut IU yang melantunkan lagu kesukaanku terdengar berulang kali, membangunkanku dari tidur nyenyak. Aku lupa apa yang aku makan semalam tapi efeknya aku terlelap pulas dan sekarang terbangun dengan kepala dan tubuh ringan seperti bulu angsa. Dengan enggan aku meraih telepon genggamku untuk melihat orang iseng mana yang meneleponku di saat sinar matahari saja masih belum sepenuhnya terlihat.
Eunoia Bara
Aku mendesah kasar saat melihat namanya terpampang di layar telepon genggam dan segera menekan tombol decline. Aku mengucek-ngucek mataku dan menangkap sosok Sakti yang masih meringkuk di sofa, masih dengan kaos yang seharusnya aku berikan untuk Kak Kani dan soft throw blanket berwarna abu-abu yang menutupi kakinya. Maaf ya Bara, aku tidak mau pagiku yang selama ini cuma bisa terjadi di khayalan buyar begitu saja.
Perlahan aku meraih tisu di dalam tasku dan menyeka seluruh wajah supaya aku tidak terlihat kucel-kucel amat nanti kalau Sakti melihatku. Setelah memastikan wajah dan rambutku lebih rapi, aku menarik selimut dan kembali melanjutkan tidur yang sempat terganggu.
Baru lima detik mataku terpejam, telepon genggamku kembali berbunyi dan tepat seperti dugaanku, lagi-lagi nama Bara muncul di layar seakan meledekku tanpa henti. Aku tidak punya pilihan lain selain menerima panggilannya sebelum ia tiba-tiba muncul di balkon kamar.
"Gue udah di depan kamar lo nih, buka pintunya dong, Na," ujar Bara singkat berbarengan dengan bunyi bel kamar yang terdengar mengalun nyaring berkali-kali membuatku mau tidak mau segera bergerak membuka pintu.
"Bar, stop! Berisik deh pagi-pagi." Aku mendesis pelan saat mendapati Bara berdiri di depan pintu. Tangannya masih tidak berhenti memencet bel kamar.
"Udah sehat lo kayaknya, udah bisa ngomel. Percuma dong gue beliin ini." Bara yang masih mengenakan pakaian pestanya hanya saja saat ini kemejanya terlihat kusut dan berantakan, menjulurkan sekantong plastik dengan logo minimarket ke hadapanku.
Kepalaku melongok ke dalamnya dan menemukan beberapa obat-obatan, roti, makanan cepat saji bahkan minuman suplemen jamu. Seketika aku merasa tidak enak ke Bara mengingat akulah yang memintanya membawa obat-obatan semalam walaupun sebetulnya sudah telat.
"Thank you, ya. Sorry jadi ngerepotin," ucapku dengan nada yang melunak. "Lo baru banget balik dari Seminyak?"
"Yeaap, demi lo, pagi-pagi begini gue langsung ke sini, menjalankan amanah." Bara tersenyum namun wajahnya terlihat lelah, sorot matanya pun terlihat kuyu.
"Sendiri? Wama? Dipta? Jivan?"
"Gue bareng Wama, Dipta ngga tau, apalagi Jivan. Cuma Tuhan yang tahu Jivan ngapain dan dimana."
Ah iya, Jivan. Tiba-tiba aku jadi teringat panggilan teleponku yang ia reject berkali-kali tadi malam.
"Waaah, gila, Na, malam gue panjang banget rasanya," ujar Bara sembari menepuk-nepuk pundaknya. Aku menyadari jasnya tidak lagi membalut tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [Completed]
Fanfiction[On-going revision] Irina Mahika adalah seorang karyawan biasa yang mulanya bekerja sebagai Personal Assistant pendiri salah satu agensi ternama. Namun, kepergian Pak Rasjid yang mendadak empat tahun lalu membuat Irina nyaris kehilangan pekerjaannya...