Chapter XXII. This is Me Trying

864 142 14
                                    

"Kamu serius mundur dari rekrutmen itu?"


Ini sudah ketiga kalinya Sakti menanyakan pertanyaan yang sama sejak aku memberitahunya bahwa aku mengirimkan email pengunduran diri kemarin.


"Iya, Sak, kamu mau nanya sampe berapa kali sih? Aku udah bilang 'iya aku cancel proses rekrutmen aku di sana' tiga kali lho hari ini," ucapku datar seakan-akan pertanyaan yang terus aku dengar itu tidak membuatku terganggu.


Pagi ini aku dan Sakti mampir ke Sky Suite untuk mengambil beberapa barang. Ibu Jivan memintaku untuk mencicil membawa beberapa baju Jivan untuk dibawa ke LA saat dia sudah diperbolehkan pulang nanti sekaligus aku menaruh stok isi kulkas yang baru aku beli di supermarket tadi.


Hari ini adalah hari ke-empat Jivan tidak sadarkan diri. Dokter sudah berusaha melakukan seluruh prosedur medis yang diperlukan untuk membuat kondisi Jivan lebih baik, namun sampai kemarin malam pun tekanan darah Jivan masih tidak meningkat dengan signifikan membuatnya masih berada dalam status kritis.


Sejak semalam pun aku tidak bisa tidur dan terus terbangun karena suhu tubuhku yang meninggi. Untunglah pagi ini sudah membaik, hanya saja gantian kepalaku yang terasa sakit ditambah sedikit mual. Aku tahu seharusnya aku makan sedikit karbohidrat, sayur-sayuran atau vitamin atau apapun itu supaya aku tidak ikut jatuh sakit namun beberapa hari ini selera makanku terjun bebas, jangankan makanan empat sehat lima sempurna, melihat junk food dan keripik penuh vetsin yang biasa aku suka saja aku tidak selera.


"Na, coba kamu pikir lagi. Masih belum terlambat buat kamu telepon mereka, bilang kamu berubah pikiran atau kamu salah kirim email atau aku bilang Mas Andrei buat hubungin kenalannya di W?" ujar Sakti sembari menaruh kantong belanja di kitchen island. Tidak ada tanda-tanda ia akan menyerah untuk merubah keputusanku.


"Aku ngga mau, Sak. Aku udah berpikir masak-masak dan aku udah memutuskan buat ngga lanjut dan ngga kerja di sana, ya udah," jawabku dengan kadar kesabaran yang sebentar lagi habis.


"Kamu ngga berpikir masak-masak, Na. Kamu kurang tidur, kamu capek, kamu lagi stress, ngga mungkin dalam keadaan kayak kamu sekarang ini kamu bisa ngambil keputusan dengan benar."


"Terus aku harusnya gimana? Santai-santai aja nerima tawaran W terus pergi ninggalin kalian di saat musibah kayak gini? Lha itu sih namanya aku ngga punya hati."


"Iya, aku tahu, ini timing-nya memang ngga tepat tapi ini kesempatan kamu, Na. Hal yang selama ini kamu mau. Aku, Mas Andrei, udah bantuin kamu –"


Aku berhenti memasukkan barang-barang ke dalam kulkas dan menatap Sakti yang berdiri di seberangku.


"Sebentar, aku ngga inget aku minta bantuan kamu atau Mas Andrei. Aku cuma cerita aku jenuh, aku kesel sama Mama yang terus-terusan nyuruh aku ikut CPNS. Aku cuma mau didengerin, Sak. Kamu sendiri yang sukarela mencoba memperbaiki hidup aku, mencoba mendamaikan aku sama Mama, inisiatif cari jalan untuk mecahin masalah aku. Aku berterimakasih sama kamu tapi aku ngga minta, terus kenapa kamu maksa?"


Sakti menggaruk kepalanya. Aku bisa menangkap sekilas raut penyesalan di wajahnya. "Oke, aku minta maaf kalau aku terlalu inisiatif tinggi dan maksa, tapi ini demi kebaikan kamu, Na."

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang