Chapter XI. You Need to Calm Down

1.2K 184 57
                                    

"God, this is super – good!"


"Kan, gue bilang juga apa." Aku tersenyum lebar mendengar seruan Jivan yang duduk di sebelahku seraya melanjutkan menggigit roti bakar berisi smoked beef, telur dan keju.


Pagi ini, aku, Jivan dan Mas Andi sudah berada di kedai Roti Gempol, Bandung. Beberapa minggu setelah kecelakaan Bara dan permainan iseng Staring Contest yang tentu saja dimenangkan Jivan, aku menepati janji untuk menemaninya ke manapun ia ingin pergi selama sehari penuh, dan untungnya Bandung menjadi kota tujuan pilihannya untuk berjalan-jalan. Ingin menjernihkan pikiran sekaligus melihat kehidupanku semasa kuliah dulu, kalau kata Jivan. Sementara hal yang membuatku semangat untuk ke Bandung adalah kesempatan untuk berwisata kuliner. Saat kuliah dulu aku menjadikan kedai ini sebagai tempat favorit untuk sarapan dan tentu saja sekarang memasukannya ke daftar itinerary kami di Bandung.


"Na, abis ini – kita ke mana?" ujar Jivan terbata dengan mulutnya yang masih tidak berhenti mengunyah roti bakar.


"Dibaca dong itinerary-nya," sahutku. Tanganku refleks menyapu remah-remah roti yang berjatuhan di celana jeans Jivan.


"Sorry, ngga sempet gue"


"Udah susah-susah gue bikin, di-print, terus lo baca aja ngga,"


Jivan tertawa mendengar keluhanku. "I was going to read it last night, tapi gue ngantuk banget, parah! And I think I just left it at my drawer."


Aku mencibir mendengar alasan Jivan. Jelas-jelas tadi pagi aku melihat kertas itinerary yang sudah sengaja aku print dari beberapa hari lalu itu masih tersimpan rapi di dalam map transparan dalam tas Jivan. Jangankan dibaca, aku yakin disentuh saja tidak.


"How am I supposed to live without you?" ujarnya dengan nada merajuk sembari menepuk bahuku beberapa kali.


"Pokoknya lo ikut gue aja ya ke mananya, ngga usah pake protes."


"Are we going to your house?"


"Why would we?" Aku menoleh ke samping kananku dan mendapati Jivan yang sedang mengelus-elus perutnya.


"Mau makan pastel buatan nyokap lo. Ayolah, please?"


Aku menggeleng dan tidak mengacuhkan celotehannya tentang seratus satu alasan untuk mengunjungi rumah ataupun toko bakery keluargaku. Tentu saja dengan sengaja tidak aku masukan acara mampir sebentar ke rumah walaupun aku sedang berada di kota ini. Semenjak Mama tahu aku tidak mengikuti pendaftaran CPNS, ia tidak meneleponku lagi. Hanya sehari sekali, malah terkadang dua hari sekali Mama menanyakan posisiku di mana melalui WhatsApp. Kadang ia hanya mengirimkan pesan beruntun atau video mengenai dosa-dosa anak durhaka ke WhatsApp-ku. Kalau aku ke rumah sekarang, mungkin Mama akan terus membahas betapa teledornya aku melupakan tanggal pendaftaran CPNS.


"Nanti gue bikinin aja ya," seruku kesal memotong ocehan Jivan yang tidak kunjung berhenti.

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang