Bab 3

1.4K 115 64
                                    

Netra Zufar melirik jam Rolex di pergelangan tangannya, menunjukan pukul 17:20 WIB. Artinya Zufar sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit. Orang yang di tunggu pun belum menunjukan tanda-tanda akan segera datang. Menghela napasnya, tangan Zufar mengapai ponsel yang tergeletak di meja, menghubungi Aldin---sekretarisnya.

"Aldin kenapa Pak Surya belum menemui saya?" tanya Zufar to the point, sebelumnya ia sudah mengucapkan salam.

"Saya belum tahu, siang tadi Saya sudah memberitahu Pak Surya supaya sore ini menemui Anda, Pak. Sebentar, Saya telepon Beliau dulu."

"Saya tunggu, terima kasih." Zufar mematikan sambungan telepon, meletakan kembali benda persegi empat itu di meja.

Sekitar sepuluh menit sudah berlalu, baru ada ketukan pintu, selang beberapa menit Aldin dan seorang pria paruh baya masuk, menghampiri Zufar.

"Selamat sore Pak Zufar, maaf atas keterlambatan Saya, tadi ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa Saya tinggalkan," terang pria paruh baya di samping Aldin yang bernama Surya Pratama---kepala bagian divisi keuangan.

Zufar mengangguk, bibir tipisnya membentuk senyum ramah. "Silakan duduk, Pak Surya. Aldin kamu juga."

"Baik, Pak," jawab kedua pria beda generasi itu, mereka duduk berdampingan menghadap Zufar.

Zufar mengambil dua map merah berisi laporan pengeluaran perusahaan bulan ini, meletakkan map itu di hadapan Pak Surya. "Bapak bisa jelaskan kenapa laporan ini ada dua, juga kenapa isinya jauh berbeda?" tanya Zufar dengan nada seperti biasa, ramah.

Mendengar pertanyaan Zufar, raut wajah Pak Surya berubah pucat. Dirinya tidak menyangka akan secepat ini ketahuan. Padahal ia sudah berusaha serapi dan seaman mungkin. "Laporan itu ...." Pak Surya terdiam. Kalau sudah ketahuan begini apa masih bisa ditutupi dengan alasan lain?

"Iya, laporannya itu kenapa, Pak? Jelaskan saja. Saya tidak akan marah, hanya saja, kecewa," kata Zufar, wajahnya tidak menunjukan amarah sedikitpun. Senyum ramah masih ada di wajah CEO muda itu.

'Hanya saja kecewa' ucapan Zufar diakhir kalimat membuat rasa bersalah Pak Surya semakin besar. Dirinya tentu merasa sangat bersalah atas perbuatan yang dengan sadar ia lakukan. "Saya minta maaf," ucap Pak Surya setelah lama terdiam.

Zufar dan Aldin saling pandang, tebakan mereka benar. Keduanya kembali menatap Pak Surya, menunggu penjelasan dari pria paruh baya itu.

"Satu dari laporan itu Saya yang buat, karena dana yang keluar bulan ini sebagian masuk kedalam rekening pribadi Saya, alasannya," Pak Surya diam sejenak, "untuk berobat istri Saya yang sedang sakit kanker darah, juga untuk biaya kuliah anak bungsu Saya."

Pak Surya memilih jujur karena sudah terlanjur ketahuan. Mau diapakan lagi tupai yang sudah jatuh, dan terjebak dalam lobang yang sama? Tidak ada.

Zufar terkejut dengan pengakuan Pak Surya, seingatnya kehidupan Pak Surya baik-baik saja. Kebutuhuannya pun selalu terpenuhi karena gaji yang diterima tidak sedikit, malah lebih dari cukup. "Kenapa Bapak memilih jalan yang salah untuk menafkahi keluarga Bapak? Maaf sebelumnya, apa gaji yang Bapak dapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Bapak, juga biaya yang lainnya?"

Pak Surya tersenyum lemah. "Satu tahun terakhir ini keluarga Saya sedang mengalami kesulitan ekonomi, Pak. Meski gaji yang Saya terima tidak sedikit juga ada bantuan dari kedua anak saya, tetap saja masih jauh dari kata cukup, istri Saya harus cuci darah setiap bulannya, bahkan sekarang harus mendapatkan perawatan intensif di ICU. Kankernya sudah menyebar, biaya yang dibutuhkan semakin banyak, Saya kalut dan akhirnya memilih jalan pintas dengan mengambil sedikit dana perusahaan. Maafkan kekhilafan Saya, Pak."

Ceezy Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang