Bab 22

994 77 6
                                    

"Ini apa?"

Tangan Ansya bergetar memegang benda persegi, yang sangat apik. Jika saja yang tertulis sebagai mempelai wanita adalah dirinya.

"Kamu bisa lihat, itu undangan," ujar Zufar sok cuek.

Ansya mengusap ujung matanya. Kepalanya menengadah, melihat langit tanpa ditemani awan. Ia kira Zufar ingin meminta maaf perihal seminggu yang lalu, karena sudah membatalkan janji secara sepihak. Nyatanya, Zufar malah membawa kabar yang cukup mengejutkan.

"Tapi, kenapa ...?" Ansya menatap Zufar dengan mata memerah, menahan tangis. "Ansya bentar lagi juga lulus, emang gak ada kesempatan buat anak labil ini?"

Zufar memijit pangkal hidungnya. Permintaan Ibunda tercintanya saja sudah berat, apalagi harus memikirkan perasaan ABG di hadapannya. "Umur saya sudah tidak muda lagi, Ansya."

"Cinta gak pandang umur," balas Ansya tidak mau kalah.

"Terus mau kamu gimana?"

Ansya menarik dasi Zufar, mendekatkan wajahnya untuk berbisik. Sementara Zufar sudah menahan napasnya, melihat wajah cantik Ansya dari dekat. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

"Ansya siap kok, kalau Kakak Zufar mau nikahin Ansya sekarang juga."

Zufar spontan menjauhkan tubuhnya dari Ansya. Dengan sigap pria itu berdiri, membelakangi gadis tersebut. "Gak semudah itu, Ansya. Apa kamu sadar kalau adat kita bertentangan?"

"Kita bisa pake dua adat."

Zufar berbalik untuk memberikan salam perpisahan. Sebenarnya ada rasa tidak rela dalam hatinya, namun apa boleh buat. "Jangan lupa datang ke pernikahan saya tiga hari lagi. Saya pamit, duluan."

Ansya menatap kosong punggung Zufar. Pupus sudah harapan yang selama ini ia bangun.

***

Bagas memerhatikan Ansya dari samping. Sudah kesekian kalinya Ansya menghela napas, tanpa berkata apa-apa. Bagas merasa bingung, lalu bertanya.

"Lo kenapa?"

Ansya menoleh, menyuguhkan senyuman tipis andalannya. "Gak apa-apa."

"Gue tahu lo bohong, Sya."

Ansya menatap Bagas penuh harap. "Gue boleh peluk lo sebentar gak, Gas?"

Bagas langsung membawa Ansya ke dalam pelukannya. Ansya sudah seperti adiknya sendiri. Jika gadis itu merasa sedih, Bagas pun merasakannya.

"Lo boleh nangis, tapi janji abis ini cerita."

Ansya menggelengkan kepalanya. Rasanya percuma saja, jika ia bercerita namun tidak bisa mengubah apa pun. "Percuma, Gas. Pernikahan itu gak bakalan batal."

"Lo dijodohin, Sya?!" Mendengar seruan Bagas, Ansya refleks memukul dada pria itu.

"Bukan gue, tapi gebetan gue."

"Bapak Om, itu?"

Ansya mengangguk. Hidungnya menghirup aroma lavender di tubuh Bagas dengan rakus. Setidaknya, dengan begini ia bisa sedikit tenang.

"Kalau lo emang cinta, perjuangkan Sya!"

"Gue udah bilang sama lo, percuma."

Bagas melepaskan paksa pelukannya. Kedua tangannya sudah memegang bahu Ansya, berusaha menyalurkan energi semangat. "Kita masih punya waktu. Nikahnya kapan?"

"Kita?"

"Gue akan bantu lo sebisa gue, tenang aja."

Ansya tersenyum tipis. Bagas memang paling top, jika diminta bantuan. "Hari ini."

"Lo gila?!"

"Lo tadi, yang duluan nawarin." Ansya mengerucutkan bibirnya, tidak terima.

"Lo tahu tempatnya, 'kan?"

Ansya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Bagas segera menggenggam pergelangan tangan Ansya, bersiap ke arah motor bebeknya untuk membawa temannya ini ke tempat pernikahan Zufar dan Bella.

Namun, Ansya segera menahan pergerakan Bagas. Kepalanya menggeleng, menolak rencana Bagas. Dengan senyum dipaksakan, kedua mata merahnya menyipit. "Gue gak pantas untuk dia, Gas. Lo bisa liat, kita cuma remaja yang baru aja nikmatin kelulusan. Sedangkan Kak Bella, dia wanita dewasa dan pengertian."

"Setidaknya lo harus coba, sebelum nyesel nantinya."

"Dan buat diri gue malu di hadapan yang lain? Sorry, Gas, gue gak bisa. Makasih atas bantuan lo."

Bagas menggeram tertahan. Ia tidak percaya bahwa gadis di depannya ini adalah Ansya. Ansya tidak sepesimis itu.

***

Jangan lupa vote, komentar dan share yaaa. Makasih❤

Rex_Publishing

Ceezy Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang