Bab 11

814 86 3
                                    

Maaf dan terima kasih kata ringan, yang kadang sulit diucapkan. Bagi beberapa orang.

***

Zufar termenung di kamarnya. Ia memikirkan kejadian sore tadi. Seharusnya ia tak sekasar itu pada seorang perempuan, apalagi ia mempunyai seorang ibu dan adik yang juga seorang perempuan.

"Apa sikap saya, tadi, keterlaluan, ya?"

Ceklek!

Setelah mendengar suara pintu dibuka, Zufar melihat kepala adiknya yang sedikit menyembul meminta izin. Ia pun menganggukkan kepalanya, mengizinkan.

"Abang, kenapa Zara perhatiin dari pulang kerja murung terus?" tanya Zara langsung sambil membuka lebar pintu kamar kakaknya.

Zufar tersenyum tipis, lalu ia menepuk sisi kanan kasurnya agar Zara duduk di sana. Zara mengerti, dan segera duduk di samping kakaknya dengan riang. Jujur saja, jika Zufar tidak sabar ia ingin sekali menjitak kepala adiknya itu, lantaran duduk terlalu dengan berayun menyebabkan ia hampir terjatuh.

"Apa, Bang?" tanya Zara dengan wajah tanpa dosanya.

"Dek, kamu, 'kan, perempuan. Ada yang mau Abang tanyakan."

"Monggo, Abang."

"Perasaan perempuan itu ... sensitif, ya?" tanya Zufar ragu. Kalau tak salah, saat itu tubuh Ansya bergetar dan ada setetes air mata yang meluncur dari kedua matanya. Zufar ingin meminta maaf, namun ia sudah di ambang pintu masuk.

"Banget, Bang!" jawab Zara dengan antusias. Kakaknya ini jarang sekali membahas topik seputar perempuan. Sungguh langka, pikirnya.

"Makanya, kalau sama perempuan harus hati-hati, Bang. Salah sedikit, bisa, loh, nyakitin perasaannya," lanjut Zara.

Zufar terdiam cukup lama. Benar juga apa yang dikatakan oleh Zara, perasaan perempuan itu memang sensitif. Berbeda dengan laki-laki yang tidak begitu membesar-besarkan perasaannya.

"Kalau seandainya, Abang ditaksir sama perempuan, tapi Abang gak―belum suka, gimana menurutmu?" Zufar segera meralat ucapannya ditengah kata, karena tidak ada yang tahu bagaimana ke depannya perasaan dirinya pada Ansya.

Zara sempat menyipitkan matanya, penuh kecurigaan. "Ya, tolak aja secara halus, Bang."

"Gak mempan!" Zufar spontan meninggikan nada suaranya, hingga membuat Zara terlonjak kaget.

"Yaudah, biarin aja. Nanti juga dia bosan."

Entah kenapa, mendengar saran Zara yang terakhir membuat Zufar sempat merenung. Kata 'bosan' itu membuat dua pikirannya pecah. Satu, Ansya tidak mungkin bosan. Dua, kalau pun bosan, entah kenapa, ada perasaan tak rela di lubuk hatinya.

"Kalau dia bosan, Abang harus apa?" Pertanyaan ambigu dari Zufar membuat Zara mengerutkan dahinya dua kali lipat.

"Ya, gak gimana-gimana. Harusnya Abang seneng, 'kan?" tanya Zara heran.

Zufar menggaruk lehernya, salah tingkah. "Iya, sih."

Zara terkekeh. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu perasaan kakaknya sampai seperti ini, pikirnya. "Kalau emang sama-sama suka, samperin ke rumahnya aja kali, Bang."

"Ngapain?"

"Ngelamar."

"Abang harus mandi dulu, deh, kayanya. Mendadak merinding." Zufar segera beranjak dari duduknya, buru-buru pria itu melangkah menuju kamar mandi.

Zara terbahak, sudah ia tebak kakaknya itu akan menyudahi obrolan ringan penuh makna ini. "Abang kalau mau curhat lagi, Zara siap 24 jam!" teriak Zara agar Zufar mendengar ucapanya. Tidak ada jawaban dari Zufar, Zara memutuskam untuk keluar dari kamar kakaknya.

Ceezy Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang