Bab 10

872 83 6
                                    

"Markonah, gambar lo bagus juga." Ansya menopang dagunya dengan satu kepalan tangan. Hari ini ada tugas dari guru kesenian, yaitu melukis atau menggambar apa pun yang penting 2D.

Ansya menggambar jam dinding di kelasnya, lantaran mudah, dan ia pun tak mau menuruti perintah gurunya agar tak menggunakan alat bantuan apa pun. Termasuk koin lima ratus rupiah.

"Woiya, dong!" Markonah menepuk bahunya dengan bangga. Ansya mendengkus melihatnya, namun sepintas ide muncul tiba-tiba melewati otaknya. Akibatnya, ke dua tangan gadis itu hampir mencekik leher Markonah, jika Markonah tidak segera melempar pensilnya dan menahan tangan Ansya.

"Apaan, Sya, yaampun!"

"Ajarin bikinnya, atuh, Mar!"

"I-iya, tapi, teh, jangan nyekik juga!"

Markonah menepuk tangan Ansya berulang kali, tenaga gadis itu sangat kuat. Gadis itu baru bisa bernapas lega saat Ansya mulai mengendurkan cekikannya sambil tersenyum layaknya orang gila.

"Lo kenapa lagi?" tanya Markonah sambil bergidik.

Ansya melihat atap kelasnya, membayangkan wajah Zufar yang tersenyum saat ia memberikan lukisan tersebut padanya.

"A'a Zufar pasti seneng, Markonah."

Markonah menatap Ansya layaknya psikopat. "Lo gak terobsesi, 'kan, Sya?"

Ansya berkedip, lucu. "Enteu, atuh."

"Kerain."

Ansya mengambil pensilnya di tempat pensil, lalu menyobek asal buku gambar Markonah untuknya menggambar. Markonah sampai ternganga melihatnya.

"Sya?"

"Hm."

"Bener kayanya kata Emak lo."

"Naon?"

"Mending kamu, teh, dimasukin lagi ke dalam kandungan terus buat versi yang baru."

Setelah itu, Markonah merasakan tasnya melayang ke depan.

***

"Capek ...."

Ansya merenggangkan badannya, lelah letih, capek, jadi satu. Sedangkan Markonah hanya terkekeh ringan. Belajar menggambar 2 dimensi memang tak mudah, wajah hanya sebatas wajah yang tak begitu ketara.

"Ini masih keliatan datar, Sya, masih 'tu di' belum tri di," komentar Markonah sambil meneliti gambar Ansya.

Ansya ingin sekali mematahkan pensil di tangannya, kesal tidak jadi-jadi gambarnya.

"Udah bagus, kok, Sya."

Tanpa sadar satu tetes air mata Ansya jatuh, ia sangat emosional hari ini. "Ta-tapi, gak mirip," sesal Ansya.

Hidung dalam gambar tersebut hanya sebuah garis melengkung layaknya kail untuk menangkap ikan, mata yang terlalu sipit, mulut tidak beres, bentuk wajah―tidak bisa disebut bagus karena sedikit miring ke arah kanan, pun dengan rambut Zufar yang ia bikin mirip dengan tokoh kartun Naruto.

"Buat pemula, udah bagus, Sya." Markonah mencoba menenangkan temannya, jika Ansya tidak juga tenang alamat tidak pulang-pulang ia pula. Sudah hampir jam empat sore, dan Markonah sudah cukup lelah.

"Be-bener?"

"Iya."

Ansya menghapus air matanya, lalu dengan ragu membereskan peralatan menggambarnya. "Yaudah, mau ke Bapak Om Zufar."

Markonah menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bapak Om Zufar, teh, siapa?"

"A'a Zufar."

"O-oh." Markonah hanya menganggukkan kepalanya saja, terserah Ansya saja, pikirnya. "Yaudah, mau pulang dulu. Dah, Sya!"

"Anu―" Ansya menutup mulutnya kala tak menemukan sosok Markonah di dekatnya, yang ia lihat hanyalah kursi kosong.

Tanpa mau memikirkannya, Ansya segera bergegas untuk ke kantor Zufar. Ia tak sabar untuk menemui pujaan hatinya. Ya, semoga saja Zufar menyukai hasil karyanya.

"Bapak Om!" sapa Ansya pada Zufar yang kebetulan sedang menatap ke arah jalan raya, seperti ingin menyeberang.

Zufar menoleh secara refleks, helaan napas terdengar dari mulutnya. Hari ini akan menjadi hari yang berat, pikirnya.

"Ada apa?" tanya Zufar dengan enggan.

"Ansya punya hadiah!" Ansya masih menyembunyikan hasil gambarnya di balik punggung. Menggigit bibir bawahnya, cemas.

Di kepala Zufar sudah menebak-nebak benda atau makanan apalagi yang akan gadis itu berikan. Ia akan segera memberinya ke orang lain, jika memang makanan itu mengancam nyawanya.

Ansya menatap Zufar penuh harap. Berharap Zufar akan bertanya lagi, apa yang akan ia kasih. Namun, lima belas detik sudah terlewat, Zufar tak juga memberinya pertanyaan tersebut. Bahkan tatapannya pun masih datar.

"I-ini." Ansya mengasihkan kartas gambarnya pada Zufar, tanpa mau melihat reaksi pria itu.

Ke dua bola mata Zufar membulat sempurna. Spontan tangannya merebut kertas tersebut, lalu membuangnya di tong sampah terdekat. Tak lupa ia meremasnya lebih dulu, sebelum membuangnya.

Ansya tersentak. Ke dua matanya kembali berkaca-kaca. Sudah ia duga, Zufar memang tidak menyukainya―pada karyanya sekalipun. Ansya menampar wajahnya sendiri, ia harus sadar. Entah kenapa, rasanya hari ini ia begitu emosional sekali. Padahal sebelumnya tidak akan berlebihan seperti ini.

Zufar menatap Ansya dari jauh, ada rasa bersalah yang menyelubungi hatinya. Baru saja pria itu ingin menghampiri Ansya, handphone-nya mendadak bergetar di saku celana. Tanpa melirik lagi, Zufar memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kantor. Ada urusan mendadak yang harus ia selesaikan sekarang juga.

***

Enteu, atuh = Enggak dong
Kerain = Kirain
Naon = Apa

Cerita ini ditulis dua orang penulis, yang tertarik untuk mengikuti lomba menulis marathon yang diadakan oleh Rex_Publishing

Doakan kami yaa, dan jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan share. Tank you.

Ceezy Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang