"Woi, kagak pada denger apa?!"
Bagas masuk ke dalam kelas dengan raut wajah merahnya, terlihat sekali jika pria itu sedang menahan panas juga emosi.
"Paan, sih, Gas?" Bagas melotot mendengar Munaroh menyebutnya dengan sebutan 'Gas'.
"Gas-gas, jangan setengah-setengah, dong, Roh!"
"Lu juga jangan setengah-setengah manggilnya!"
Bagas mencibir Munaroh dalam diam. Ia harus kembali fokus pada tujuannya berteriak, tadi.
"Kumpul di lapangan sekarang. Pada budek, ya, lo semua?" Ucapan Bagas yang begitu to the point membuat teman-temannya geram, dan ingin melempari pria itu dengan gumpalan kertas.
"Lo lupa kalau spiker di kelas rusak?" Ansya yang masih fokus pada handphone-nya pun menanggapi.
Bagas menggaruk belakang telinganya. "Hehe, lupa, euy."
"Huuu!"
"Udah, cepetan, keluar! Keburu Bapak Kepala Sekolah ngambek, ayo!"
Sebenarnya Ansya sangat malas sekali ikut berkumpul di lapangan, karena ia lebih suka menunggu di dalam kelas dan akan meminta informasi setelah mereka kembali ke dalam kelas.
"Sya, hayu!" Bagas berkacak pinggang melihat kelakuan Ansya yang tak pernah berubah.
"Mager, Bagas."
"Cepet, nanti gue laporin, loh," ancam Bagas.
Ansya pun menyimpan handphone-nya ke dalam saku celana, lalu mulai melangkah keluar bersama Bagas.
"Kenapa kamu teh murung begitu?" tanya Bagas.
Ansya sadar bahwa Bagas mulai memperhatikannya―ah, tidak. Bahkan pria itu sering memperhatikannya akhir-akhir ini.
"Gak apa-apa."
"Oh."
Di tengah lapangan sudah berkumpul hampir semua siswa dan siswi, yang kini tengah memperhatikan kepala sekolah mereka untuk segera memberikan penjelasan.
Mulut Pak Karno, kepala sekolah, mulai terbuka secara perlahan. Muridnya menunggu dengan tegang. "Besok kemah!"
"Apa?!" serentak muridnya berteriak, kaget.
"Pak, kelas dua belas udah deket ini, mau UN, gak usah ikut, ya?"
"Bapak, teh, gimana, sih!"
"Aduh, panas nanti tambah item aku, Pak!"
Pak Karno mengulurkan tangannya ke depan, melambai layaknya sedang menyapa rakyat. "Hiyahiya, lanjutkan protes kalian, tidak akan saya dengar."
Ansya melongo mendengar perkataan Pak Karno yang begitu to the point. Jika saja pria tua itu bukan gurunya, mungkin saja Ansya sudah melempar sepatu mahalnya, harganya lebih dari seribu, ke depan.
"Sudah, dengarkan, Bapak akan sebutkan apa saja yang harus kalian bawa. Oia, kemahnya di Bandung. Wuadem'e polll!"
"Hah?!"
***
Zufar merenggangkan tangannya ke samping. Duduk berjam-jam di kursi bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi di tamani setumpukan berkas yang harus diperiksa satu persatu.
Ting!
Handphone-nya di meja berbunyi. Zufar harap bukan pesan ataupun spam dari monster licik-nya.
"Ck! Kamu itu mikir opo, toh, Far." Zufar menampar pelan pipinya sendiri kala sempat berpikir Ansya adalah monster licik miliknya.
Bapak Om, Ansya udah cari tentang larangan gambar kemarin yang Om jelasin.
Sepertinya ini lebih berbobot, pikir Zufar saat melihat sebuah pesan yang Ansya kirimkan.
Lalu?
Ada waktu gak sore nanti?
Zufar ragu akan memberikan jawaban, memang seingatnya sore ini ia tidak ada acara apa pun.
Ada.
Tunggu Ansya di taman deket kantor Bapak Om, ya! Awas kalau gak dateng →_→←_←
Zufar terkekeh melihat smiley yang Ansya kirimkan padanya. Mungkin, hari ini Ansya akan menjadi obat penenangnya. Semoga saja.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga Zufar menatap ke arah jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.00 WIB. Ia pun bergegas menuju taman, tak ingin Ansya menunggu lama. Saat sudah dekat, Zufar memelankan laju langkahnya, kemudian menghampiri Ansya di kursi taman.
"Ada apa? Waktu saya tidak banyak."
Ansya terlonjak kaget. Gadis itu menyentuh dadanya dan spontan berdiri dari kursi. Zufar berdehem, sebisa mungkin menahan tawanya.
"Bapak ngagetin tahu!" Kedua mata Ansya sempat berkaca-kaca, hal itu membuat Zufar merasa bersalah.
"Kamu kenapa?"
Ansya hanya menggelengkan kepalanya, tak ingin membahas hal ini lebih lanjut. Ia takut akan ingatan kelam masa lalu. "Gak apa. Ayo, duduk!"
Zufar dan Ansya duduk berjauh-jauhan, Ansya tepat di ujung kanan dan Zufar ujung kiri. "Ada apa?" tanya Zufar, lagi.
"Ajarin."
"Apa?"
"Tentang gambar."
"Saya bukan guru les."
Ansya memutar kedua matanya jengah. "Hukumnya, Om Bapak."
"Kamu kemarin nyariin Bapak saya, sekarang Om saya." Sayanya kapan?! lanjut Zufar dalam hati.
"Au, ah, remang-remang!"
Zufar terkekeh kecil. "Mau diajarkan apa?" tanyanya dengan lembut.
"Soal gambar itu."
Ansya sadar bahwa tujuan sebenarnya bukanlah hal tersebut. Namun, ia sudah terlanjur mencari tahu dan kebetulan tidak ada topik yang tepat.
"Bukannya kemarin sudah saya beri tahu?"
"Yaudah, kalau gitu ganti."
"Apa?" Zufar merasakan jantungnya berdebar cukup kencang menunggu Ansya berbicara.
"Ajarin caranya Kak Zufar bisa jatuh cinta sama Ansya?"
Mendengar Ansya menyebutnya sebagai 'Kakak' jantung Zufar berdetak lebih cepat. Entah kenapa, ia suka panggilan itu.
Saat Zufar akan menjawab, Ansya dengan cepat menyelanya kembali. "Sebelum Ansya pergi jauh."
Pergi jauh?
――――――
Zufar kayanya ada bumbu-bumbu anu, nih, guys!Nulis marathon Rex_Publishing
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceezy Love
RomanceBab masih lengkap | Sudah terbit Cerita ini kami ikut sertakan dalam lomba menulis marathon Rex Publishing. Di tulis oleh dua orang. Aya Sovia dan Khia_fa "Berawal dari typo, berujung dadi tresno."